Ancaman Pidana Bagi Netizen yang Berkomentar Body Shaming

Oleh: Erizka Permatasari

 

Pengertian Body Shaming

Menurut Merriam Webster Dictionary, body shaming adalah:

The act or practice of subjecting someone to criticism or mockery for supposed bodily faults or imperfections.

Berdasarkan definisi tersebut, secara sederhana body shaming merupakan tindakan atau praktik menjadikan seseorang sebagai sasaran kritik atau ejekan karena ketidaksempurnaan tubuh.

Kemudian, istilah body shaming ditujukan untuk mengejek orang yang memiliki penampilan fisik yang dinilai cukup berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh, body shaming adalah penyebutan dengan “gendut”, “pesek”, “cungkring”, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tampilan fisik. Body shaming atau mengomentari kekurangan fisik orang lain, meski bukan kontak fisik yang merugikan, namun body shaming termasuk jenis perundungan (bullying) secara verbal atau lewat kata-kata.

 

Netizen yang Berkomentar Body Shaming, Bisakah Dipidana Berdasarkan KUHP?

Pada dasarnya, penting untuk diketahui, body shaming berupa menghina seseorang karena bentuk fisiknya, maupun menghina dengan ucapan kata-kata kasar seperti makian, cacian, dan/atau kata-kata tidak pantas, sekalipun dilakukan melalui sistem elektronik atau media sosial, pelaku dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penghinaan ringan.

Tindak pidana penghinaan ringan diatur dalam Pasal 315 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 436 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026 sebagai berikut:

Pasal 315 KUHP

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.”

Pasal 436 UU 1/2023

“Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.”

Terkait perbuatan yang termasuk penghinaan ringan, R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 228) menjelaskan, jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, perbuatan tersebut masuk ke dalam Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.

Agar dapat dihukum, kata-kata penghinaan itu baik lisan maupun tulisan harus dilakukan di tempat umum (yang dihina tidak perlu berada di situ).

Apabila penghinaan itu tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum:

    1.     Jika dilakukan dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus ada di situ melihat dan mendengar sendiri;

    2.     Bila dengan surat (tulisan), maka surat itu harus dialamatkan (disampaikan) kepada yang dihina.

R. Soesilo kemudian menjelaskan bahwa penghinaan ringan juga dapat dilakukan dengan perbuatan, seperti meludah di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.

Selanjutnya, berdasarkan KUHP baru, maksud dari Pasal 436 UU 1/2023 adalah ketentuan ini mengatur penghinaan yang dilakukan dengan mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh terhadap orang lain. Penghinaan tersebut dilakukan di muka umum dengan lisan atau tulisan, atau di muka orang yang dihina itu sendiri baik secara lisan, tulisan, maupun dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan kepadanya.

Sebagai informasi, ketentuan hukum penghinaan ringan merupakan delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, korban yang merasa dirugikan dapat mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut. Dalam arti lain, aparat hukum tidak bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Hal tersebut sebagaimana diatur di Pasal 440 UU 1/2023 yang berbunyi:

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433, Pasal 434, dan Pasal 436 sampai dengan Pasal 438 tidak dituntut, jika tidak ada pengaduan dari korban tindak pidana.

 

Ketentuan Body Shaming dalam UU 1/2024

Kemudian, ketentuan maupun istilah body shaming tidak secara gamblang diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Namun, perbuatan internet citizen (“netizen”) yang mengomentari kekurangan fisik orang lain melalui media sosial (“medsos”) berpotensi menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Hal ini termasuk dalam perbuatan yang dilarang di Pasal 27A UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, sebagai berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

Lalu, menurut Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024, yang dimaksud dari perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.

Selanjutnya, orang yang melanggar Pasal 27A UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 2 tahun, dan/atau denda maksimal Rp400 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024.

Namun, perlu diketahui bahwa tindak pidana dalam Pasal 27A UU 1/2024 adalah tindak pidana aduan, sehingga tindak pidana ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari korban atau orang yang terkena tindak pidana, dan bukan oleh badan hukum. Selain itu, perbuatan dalam Pasal 27A UU 1/2024 tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau jika dilakukan karena terpaksa membela diri.