Wajibkah Makanan Impor Bersertifikat Halal?

Wajibkah Makanan Impor Bersertifikat Halal?

Pernyataan “Halal” dalam UU Perlindungan Konsumen
Di Indonesia, setiap konsumen dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen, yang merupakan keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan, serta penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunaannya dalam bermasyarakat.
Adapun yang dimaksud perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Terkait perlindungan akan label halal, UU Perlindungan Konsumen tidak mengatur mengenai apakah barang yang diperjualbelikan harus mencantumkan label halal atau tidak. Akan tetapi, ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf h UU Perlindungan Konsumen mengatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
Sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen adalah dipidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda maksimal Rp2 miliar.
Pencantuman Label Pada Pangan
pengaturan mengenai label halal diatur dalam UU Pangan dan UU 33/2014, yang keduanya telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Keberadaan label halal pada produk baik makanan maupun obat merupakan wujud perlindungan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.  Adapun pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. 
Pengaturan spesifik mengenai produk pangan impor yang diperdagangkan di wilayah Indonesia, mengacu pada Pasal 97 ayat (2) UU Pangan yang berbunyi:
Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan pangan ditulis atau dicetak secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti masyarakat dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:
1. nama produk
2. daftar bahan yang digunakan
3. berat bersih atau isi bersih
4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor
5. halal bagi yang dipersyaratkan
6. tanggal dan kode produksi
7. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa
8. nomor izin edar bagi pangan olahan
9. asal usul bahan pangan tertentu
Setiap orang yang melanggar ketentuan pencantuman label pada Pasal 97 ayat (2) UU Pangan wajib mengeluarkan dari dalam wilayah Indonesia atau memusnahkan pangan yang diimpor.
Keterangan Tidak Halal pada Produk dari Bahan yang Diharamkan
Pasal 4 UU 33/2014 mengatur produk (dalam hal ini makanan atau obat) yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Namun sertifikasi halal produk impor ini dikecualikan bagi pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan.
Sebagai gantinya, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Keterangan tidak halal tersebut haruslah mudah dilihat dan dibaca, serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
Sanksi Jika Tidak Mencantumkan Keterangan Tidak Halal
Apabila pelaku usaha tidak mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Maka pelaku usaha dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis, hingga penarikan barang dari peredaran. 
Pengenaan sanksi peringatan tertulis dalam bentuk tertulis paling sedikit memuat:
a. penjelasan pelanggaran
b. konsekuensi pelanggaran
c. waktu penyelesaiian tidak lanjut
Kemudian, jika sanksi peringatan tertulis diberikan karena melanggar ketentuan Pasal 110 ayat (1) PP 42/2024, pelaku usaha wajib menarik produk dari peredaran sampai dengan pencantuman keterangan tidak halal. Kemudian Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mengumumkan kepada masyarakat produk yang dikenai sanksi peringatan tertulis dalam jangka waktu paling lama 2 hari melalui media elektronik, media sosial, dan/atau media cetak.

Adapun penarikan barang dari peredaran oleh pelaku usaha dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 hari sejak sanksi penarikan barang dari peredaran ditetapkan. Dengan demikian, apabila produk (pangan atau obat) yang diimpor dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan, maka dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. Sebagai gantinya, produk tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal.

Oleh: Renata Christha Auli, S.H.

Meta Data

Tipe Dokumen : Artikel Hukum
Judul : Wajibkah Makanan Impor Bersertifikat Halal?
T.E.U. Orang/Badan : JDIH Sukoharjo
Tempat Terbit : Sukoharjo
Tahun Terbit : 2025
Sumber : Berita
Subjek : Makanan
Bahasa : Indonesia
Bidang Hukum :
Lokasi : Kabupaten Sukoharjo
Lampiran : -

Berita Terbaru