Apakah KPK Berwenang Menangani Kasus Nepotisme?
Oleh: Nafiatul
Munawaroh
Nepotisme merupakan jenis khusus dari konflik
kepentingan yang timbul ketika seorang pegawai birokrasi atau pejabat publik
dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ketika menjalani tugas. Dalam arti luas,
nepotisme pada dasarnya berlaku untuk situasi yang sangat khusus, yaitu dalam
hal seseorang menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan, sering dalam
bentuk pekerjaan bagi anggota keluarganya.
Adapun, secara yuridis, definisi nepotisme ditemukan
di dalam Pasal 1 angka 5 UU 28/1999. Nepotisme adalah setiap perbuatan
penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarganya dan/atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau
negara.
Lalu, apa saja cakupan penyelenggara negara itu?
Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Secara hukum, tindakan nepotisme adalah dilarang
untuk dilakukan oleh penyelenggara negara. Larangan nepotisme ini berarti
melarang penyelenggara negara menggunakan atau menyalahgunakan kedudukannya
dalam lembaga publik untuk memberikan pekerjaan publik kepada keluarganya.
Sebab nepotisme dapat menimbulkan konflik loyalitas dalam organisasi.
Lalu, apa saja contoh dari nepotisme? Di era orde
baru, isu nepotisme muncul mengenai pengangkatan anggota MPR yang mempunyai hubungan
darah dengan pejabat atau anggota MPR terpilih. Contoh lain adalah seorang
penyelenggara negara mengangkat anak atau sanak keluarganya untuk menduduki
jabatan tertentu yang secara melawan hukum, seperti tanpa melalui rekrutmen
resmi atau menggunakan kekuasaannya meloloskan keluarga/kroninya meskipun tidak
memenuhi syarat.
Kemudian, apakah Komisi Pemberantasan Korupsi
(“KPK”) berwenang menyidik dan menuntut kasus nepotisme, perlu diketahui bahwa
wewenang KPK adalah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
Pasal-pasal tindak pidana korupsi di dalam UU
31/1999 dan UU 20/2001 berbeda dengan pasal tindak pidana nepotisme sebagaimana
termaktub di dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 22 UU 28/1999. Akan tetapi, jika
perbuatan nepotisme tersebut ternyata memenuhi unsur pasal-pasal tindak pidana
korupsi seperti merugikan keuangan negara, maka berlaku pasal tindak pidana
korupsi.
Sehingga, jika tindakan nepotisme tersebut
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, misalnya karena terbukti merugikan
keuangan negara, maka KPK berwenang untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut
pelakunya.