Arti Pro Justitia dan Contoh Penerapannya

Oleh: Nafiatul Munawaroh

 

Apa Itu Pro Justitia?

Menurut Yan Pramadya Puspa dalam buku Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa: Belanda-Indonesia-Inggris, pro justitia artinya demi hukum, untuk hukum atau undang-undang (hal 456).

Dalam praktiknya, istilah pro justitia terdapat dalam dokumen atau surat resmi kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan maupun dokumen hukum kejaksaan dalam proses penyidikan atau penuntutan untuk kepentingan proses hukum.

Makna atau pengertian pro justitia juga terdapat dalam penetapan atau putusan pengadilan. Istilah pro justitia dalam penetapan atau putusan dituliskan dengan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

 

Tinjauan Formal Administratif dan Materiil Substantif

Secara formal administratif, penggunaan frasa pro justitia adalah untuk menunjukkan bahwa tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum merupakan tindakan hukum yang sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat.

Secara materiil substantif, berdasarkan dokumen hukum yang bertuliskan “pro justitia”, setiap tindakan hukum yang diambil sebagaimana surat tersebut dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.

Sebagai contoh, dalam Lampiran Perkapolri 6/2010, diterangkan bahwa secara khusus surat perintah penangkapan harus menuliskan “pro justitia” (hal. 35).

Menurut hemat kami, contoh ini bukan hanya mencerminkan dokumen hukum untuk tindakan hukum demi kepentingan hukum dan keadilan, namun juga mencerminkan keabsahan dan kekuatan mengikat surat perintah penangkapan untuk membatasi kebebasan seseorang sebagaimana diartikan Pasal 1 angka 20 KUHAP yang berbunyi:

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

 

Penerapan Pro justitia dalam Putusan Pengadilan

Merujuk Pasal 197 ayat (1) huruf a KUHAP, surat putusan pemidanaan harus memuat, salah satunya, kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Patut diperhatikan pula bahwa ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP diputus bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat” oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016 (hal. 82 – 83).

Jika irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak dicantumkan, akan berakibat pada putusan batal demi hukum.

Lebih lanjut, dalam artikel Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah diterangkan perspektif historis dari penerapan pro justitia dalam putusan pengadilan.

Artikel tersebut mengungkapkan bahwa di Indonesia, kalimat irah-irah digunakan pada kepala putusan sejak lama dengan beberapa kali perubahan. Dalam artikel yang sama, diterangkan bahwa Bismar Siregar dalam Hukum Acara Pidana mencatat jika kepala putusan di pengadilan Indonesia sejak masa prakemerdekaan hingga kemerdekaan pernah menggunakan “Atas Nama Ratu/Raja”, lalu “Atas Nama Negara”, kemudian “Atas Nama Keadilan”, dan berubah menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana yang berlaku saat ini.

Dalam artikel tersebut pula, diterangkan bahwa Bismar Siregar berpendapat jika kalimat yang dipakai dalam irah-irah menunjukan kepada siapa putusan pengadilan dipertanggungjawabkan. Jika “Atas Nama Keadilan”, maka kepada keadilanlah putusan dipertanggungjawabkan. Jika “Atas Nama Tuhan”, maka kepada Tuhan-lah pertanggungjawaban hakim ditujukan. “Atas nama”, menurut Bismar, membawa kewajiban dan tanggung jawab moral yang sangat besar.

Dengan menyandarkan putusan kepada Tuhan, maka seorang hakim telah mengupayakan kebijaksanaan terbaiknya atas nama Tuhan dalam mengadili dan memutus perkara.

Kemudian, artikel tersebut juga menerangkan bahwa dalam disertasi Sudikno Mertokusumo, kata “demi” dalam irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti “untuk kepentingan”. Ia berpendapat frasa “untuk kepentingan” lebih tepat daripada “atas nama”, karena tujuan peradilan adalah untuk mencapai keadilan.

Dengan demikian, peradilan itu sendiri tidak dilaksanakan “atas nama keadilan”, seakan-akan keadilan mewakilkan atau menguasakan salah satu badan untuk melaksanakan peradilan.