ARTIFICAL INTELLIGENCE (AI): SUBJEK HUKUM ATAU OBJEK HUKUM?

ARTIFICAL INTELLIGENCE (AI): SUBJEK HUKUM ATAU OBJEK HUKUM?

Ahmad M. Ramli

 

Artificial Intelligence (AI) yang juga dikenal dengan istilah akal imitasi, menjadi salah satu inovsi paling spektakuler pada dekade ini, terutama pasca dikembangkannya AI Generatif (GenAI).

Kehadiran AI telah membawa prubahan yang signifikan dalam berbagai bidang, termasuk hukum. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai status hukum AI. Apakah AI harus diperlakukan sebagai subjek hukum atau tetap sebagai objek hukum?

 

Apakah AI sebagai Subjek Hukum atu Objek Hukum?

AI adalah teknologi yang memungkinkan komputer dan mesin untuk mensimulasikan pembelajaran, pemahaman, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan kreativitas manusia. AI berkembang pesat dalam berbagai sektor, dari industri, medis, hingga perbankan dan hukum. Sehingga pada intinya, AI berfungsi sebagai instrumen yang membantu manusia dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleksnya.

Saat ini, AI secara umum dipandang sebagai objek hukum, bukan subjek hukum. Hal ini dikarenakan AI merupakan alat atau perangkat yang digunakan oleh manusia untuk mencapai tujuan tertentu.

Namun, ada fenomena yang mempertanyakan apakah AI dapat diperlakukan sebagai subjek hukum? Hal ini tidak terlepas karena kemampuan AI dalam mengambil keputusan yang rumit, dan berdampak pada manusia juga lingkungan. Sehingga, muncul keinginan agar AI dapat bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya sendiri.

Fenomena tersebut tentu menimbulkan persoalan hukum yang signifikan, karena akan terkait dengan siapa yang harus bertanggung jawab jika AI membuat kesalahan atau menyebabkan kerugian? Apakah aplikasi dan platform digital atau mesin bisa dituntut untuk bertanggung jawab layaknya manusia?

Menjawab pertanyaan tersebut, hingga saat ini, semua tanggung jawab melekat pada manusia, atau entitas yang mengembangkan dan mengoperasikan AI.

 

AIA 2024 sebagai Dasar Hukum AI

Terkait dengan ststus hukum AI, Uni Eropa telah memberlakukan undang-undang AI komprehensif yang mengatur penggunaan AI. Aturan tersebut dikenal dengan European Union Articial Intelligence Act 2024 (AIA 2024). AIA 2024 bertujuan untuk memastikan bahwa AI digunakan secara aman, transparan, dan bertanggung jawab, serta untuk mengurangi resiko yang dapat timbul dari penggunanya, seperti bias atau diskriminasi.

Beberapa pasal dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Pasal 14 ayat (1) AIA 2024 mengatur bahwa sistem AI harus berada di bawah pengawasan manusia. Pasal ini bertujuan untuk memastikan bahwa keputusan penting yang dibuat oleh AI tetap dapat dipantau dan dikendalikan oleh manusia. Dengan demikian, manusia memiliki kendali penuh atas keputusan yang diambil oleh AI, terutama dalam situasi yang melibatkan risiko besar bagi keselamatan atau hak asasi manusia.

Kedua, Pasal 50 ayat (1) AIA 2024 mengatur kewajiban transparansi bagi pengembang dan operator AI. Operator diwajibkan untuk memastikan bahwa pengguna atau pihak yang terkena dampak, memahami bahwa mereka berinteraksi dengan sistem AI. Transparansi ini penting untuk membangun kepercayaan dalam penggunaan AI, terutama dalam interaksi yang melibatkan publik secara luas.

Ketiga, Pasal 57 ayat (12) AIA 2024 menegaskan bahwa tanggung jawab hukum atas kerugian yang disebabkan oleh AI, tetap berada pada pengembang, operator, atau pihak yang mengendalikan AI, bukan pada AI itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun AI yang menyebabkan kerugian, tanggung jawab tetap dibebankan pada entitas manusia yang mengoperasikan atau mengendalikan AI tersebut.

Dengan regulasi ini, Uni Eropa secara tegas menetapkan bahwa AI adalah objek hukum dan bukan subjek hukum. Semua keputusan yang diambil oleh AI tetap harus berada di bawah pengawasan manusia, dan tanggung jawab hukum tetap pada pengembang atau operator.

 

AI dan Kekayaan Intelektual di Indonesia

Dalam hukum Indonesia, kita dapat membahas beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Hal ini mengingat di beberapa negara, undang-undang seperti ini yang seringkali dijadikan pintu masuk untuk menentukan status hukum AI.

Pertama, Pasal 1 angka 3 UU Paten. Pasal ini menyatakan bahwa inventor adalah seorang atau beberapa orang, yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.

Kedua, Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.

Ketiga, Pasal 1 angka 2 UU Desain Industri. Ketentuan ini mengatur bahwa pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa baik inventor dalam rezim hukum paten, pencipta dalam rezim hukum hak cipta, maupun pendesain dalam rezim hukum desain industri harus manusia dan bukan alat teknologi seperti AI. Ketiga undang-undang tersebut tidak mengakui AI sebagai subjek hukum, dengan kata lain AI adalah objek kekayaan intelektual.

 

Praktik di Amerika Serikat dan Inggris

Sebagai informasi, terdapat putusan penting terkait AI yang telah diputus oleh pengadilan di Inggris serta praktik AI di Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan Putusan Pengadilan di Inggris dalam kasus AI bernama DABUS, Mahkamah Agung Inggris menolak mengakui AI sebagai inventor. Pengadilan menyatakan bahwa hanya manusia yang dapat diakui sebagai inventor dalam hukum paten Inggris.

Pengadilan berpendapat bahwa hak atas paten melekat pada individu yang memiliki kapasitas untuk memahami hak tersebut, sesuatu yang tidak dimiliki oleh AI. Putusan ini penting karena menegaskan bahwa meskipun AI mampu menghasilkan invensi baru, AI tidak memiliki hak paten atau status hukum sebagai inventor.

Kemudian, kantor hak cipta AS juga menolak pengakuan hak cipta untuk karya yang dihasilkan oleh AI tanpa keterlibatan manusia. Pada tahun 2023, US Copyright Office memutuskan bahwa karya yang dihasilkan oleh AI tidak dapat diberi hak cipta, jika tidak ada kontribusi kreatif manusia dalam proses penciptaannya. Keputusan ini sejalan dengan prinsip bahwa hak cipta hanya diberikan kepada pencipta yang memiliki niat dan tindakan kreatif, sesuatu yang tidak dimiliki oleh AI.

Keputusan di atas menunjukkan bahwa meskipun AI dapat menghasilkan inovasi dan konten kreatif, tetapi status hukum AI tetap terbatas sebagai objek hukum, bukan subjek hukum dalam pelindungan kekayaan intelektual. Tanggung jawab hukum atas tindakan yang dilakukan AI tetap berada pada pengembang, operator, atau pengguna AI, dan tidak ada pengakuan hukum yang diberikan kepada AI sebagai entitas yang memiliki hak dan kewajiban.

Kesimpulannya, meskipun AI memiliki kemampuan yang semakin canggih, tetapi status hukumnya masih terbatas hanya sebagai objek hukum, dan bukan subjek hukum.

Meta Data

Tipe Dokumen : Artikel Hukum
Judul : ARTIFICAL INTELLIGENCE (AI): SUBJEK HUKUM ATAU OBJEK HUKUM?
Tempat Terbit : Sukoharjo
Tahun : 2025
Bahasa : Indonesia
Sumber : -
Lokasi : JDIH Kabupaten Sukoharjo
TEU Orang/Badan : -
Subjek : -
File Dokumen : -

Berita Terbaru