
Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim yang Melanggar Kode Etik
Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim yang Melanggar Kode Etik
Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim yang Melanggar Kode Etik
Secara teori, terdapat dua jenis upaya hukum terhadap putusan hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Berikut penjelasannya:
Upaya Hukum Biasa
1. Banding
Pada perkara perdata, upaya hukum banding dapat diajukan apabila salah satu pihak baik tergugat maupun penggugat tidak menerima putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim pada peradilan tingkat pertama. Upaya hukum banding diajukan 14 hari setelah putusan diucapkan atau setelah putusan diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir di persidangan. Dasar hukum banding untuk perkara perdata yaitu Pasal 199 Rbg, Pasal 6 UU 20/1947, dan Pasal 26 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, di dalam perkara pidana, upaya hukum banding dapat diajukan apabila terdakwa atau jaksa penuntut umum tidak menerima putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim kecuali putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Upaya hukum banding diajukan 7 hari setelah putusan diucapkan atau setelah putusan diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir di persidangan. Dasar hukum mengajukan upaya hukum banding untuk perkara pidana yaitu Pasal 233 ayat (1) jo. Pasal 67 jo. Pasal 196 ayat (3) KUHAP.
2. Kasasi
Upaya hukum kasasi pada prinsipnya diatur di dalam Pasal 20 ayat (2) jo. Pasal 23 UU Kekuasaan Kehakiman. Kasasi dimintakan kepada Mahkamah Agung terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan putusan pengadilan dalam tingkat banding kecuali undang-undang menentukan lain.
Khusus untuk perkara pidana, upaya hukum kasasi juga diatur di dalam Pasal 244 KUHAP jo. Putusan MK No. 114/PUU-X/2012 sampai dengan Pasal 258 KUHAP. Ketentuan tersebut mengatur bahwa terdakwa dan penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung.
3. Perlawanan
Dalam perkara perdata, terdapat pula upaya hukum perlawanan (verzet) yang merupakan perlawanan terhadap putusan verstek. Putusan verstek adalah putusan yang tergugat atau turut tergugatnya tidak hadir di dalam persidangan. Perlawanan diatur di dalam Pasal 129 HIR/153 Rbg.
Adapun, syarat mengajukan perlawanan (verzet) adalah:
a. dilakukan terhadap putusan verstek
b. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari
c. perlawanan dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana penggugat mengajukan gugatannya.
4. Keberatan
Upaya hukum keberatan diajukan terhadap putusan hakim dalam perkara gugatan sederhana. Keberatan diatur di dalam Pasal 21 s.d. Pasal 30 Perma 2/2015. Permohonan keberatan diajukan paling lambat 7 hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Terhadap putusan permohonan keberatan adalah putusan akhir yang tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Upaya Hukum Luar Biasa
1. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Secara umum, untuk perkara pidana, ketentuan mengenai peninjauan kembali diatur di dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 dijelaskan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Adapun, tiga alasan permohonan peninjauan kembali yaitu:
• apabila terdapat keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat bahwa keadaan baru tersebut dapat mengubah isi putusan
• apabila terdapat pertentangan putusan terhadap hal yang sama yang telah berkekuatan hukum tetap
• apabila di dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ditemukan suatu kekhilafan atau kekeliruan hakim.
2. Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Kasasi demi kepentingan hukum (KDKH) adalah upaya hukum luar biasa yang bertujuan untuk mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan. KDKH diajukan jika sudah tidak ada upaya hukum biasa yang dapat digunakan. Berdasarkan Pasal 259 ayat (1) KUHAP, KDKH hanya bisa diajukan satu kali oleh jaksa agung terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung.
Disarikan dari artikel 2 Macam Upaya Hukum Atas Putusan Pengadilan Perkara Pidana, KDKH diajukan apabila terdapat:
a. suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan dengan tidak sebagaimana mestinya
b. apakah cara mengadili sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak
c. pengadilan melampaui wewenangnya.
Putusan Pengadilan yang Tidak Bisa Diajukan Upaya Hukum
Walaupun pada prinsipnya putusan hakim dapat diajukan upaya hukum, namun terdapat jenis putusan yang tidak bisa diajukan upaya hukum, salah satunya putusan praperadilan.
Di dalam Pasal 83 ayat (1) KUHAP diatur bahwa putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Kemudian, Pasal 45A ayat (2) huruf a UU 5/2004 menyebutkan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi. Lebih lanjut, Pasal 1 dan Pasal 3 ayat (1) Perma 4/2016 mengatur bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
Oleh: Catur Alfath Satriya, S.H.