
Aturan Presidential Threshold Pasca Putusan MK
Sebelum membahas
presidential threshold dalam pemilu serentak, perlu diketahui dulu beberapa
beberapa varian ambang batas atau threshold yang sering digunakan dalam penyelenggaraan
pemilu.
Dijelaskan oleh
Khairul Fahmi yang dikutip oleh Saldi Isra, dalam bukunya Pemilu dan Pemulihan
Daulat Rakyat (hal. 197), secara sederhana, ambang batas atau threshold adalah
batas minimal dukungan atau suara yang mesti dimiliki untuk memperoleh hak
tertentu dalam pemilu. Dari segi fungsi dan kegunaanya, penerapan threshold
adalah untuk mengurangi jumlah peserta pemilu, jumlah parpol yang duduk di
lembaga perwakilan, dan jumlah parpol/kelompok parpol dalam pencalonan presiden
dan wakil presiden. Adapun, variannya meliputi electoral threshold,
parliamentary threshold, dan presidential threshold.
Electoral
Threshold
Menurut Gotfridus
Goris Seran dalam bukunya Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman
Indonesia dan Negara Lain (hal. 260) electoral threshold diartikan sebagai
tingkat dukungan minimal yang partai butuhkan untuk memperoleh perwakilan di
lembaga legislatif. Ambang batasnya dapat berupa jumlah, persentase atau kuota.
Threshold ini dijadikan sebagai syarat bagi partai dalam pemilu sekarang untuk
ikut serta dalam pemilu berikutnya. Di Indonesia, electoral threshold pernah
diterapkan kepada partai-partai peserta pemilu 2004 untuk ikut serta dalam
pemilu 2009.
Parliamentary
Threshold
Lebih lanjut, Gotfridus Goris Seran (hal. 429-430)
menjelaskan, parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan kursi oleh
partai di parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain
parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai
politik dalam pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR.
Ketentuan ini
pertama kali diterapkan pada pemilu 2009. Misalnya pada tahun 2009, partai
politik peserta pemilu yang diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR
(tidak termasuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) yaitu parpol yang
memenuhi sekurang-kurangnya 2,5?ri jumlah suara sah nasional. Sedangkan
ketentuan parliamentary threshold yang berlaku pada pemilu 2024 yaitu sebesar
4%. Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi pemilu berikutnya berdasarkan
Putusan MK No. 116/PUU-XXI/2023 (hal. 129).
Presidential
Threshold
Masih dalam buku yang sama, Gotfridus Goris Seran (hal.
557) mendefinisikan presidential threshold sebagai ambang batas perolehan suara
yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat
mengajukan calon presiden.
Ambang batas
pencalonan presiden dan wakil presiden pertama kali dirumuskan dalam Pasal 5
ayat (4) UU 23/2003 sebagai berikut :
Pasangan calon
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15%
(lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan
suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Perlu kami tekankan
bahwa ketentuan ambang batas dalam UU 23/2003 di atas sudah tidak berlaku lagi.
Kemudian, Feri
Amsari S.H, M.H, LLM(penulis sebelumnya) menjelaskan bahwa pada pemilu tahun
2004, 2009, dan 2014, presidential threshold dirumuskan berdasarkan perolehan
jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil legislatif sebelumnya. Hal
ini karena pemilu legislatif diselenggarakan lebih dulu sebelum pemilu
presiden. Berbeda dengan ketentuan UU Pemilu, karena pelaksanaan pemilu
presiden dan legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019, sehingga ambang
batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional
pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Ketentuan tentang
besaran perolehan jumlah kursi maupun suara sah nasional yang menjadi ambang
batas pemilu presiden selalu berubah setiap kali pelaksanaan pemilu. Pada tahun
2019, ketentuan presidential threshold diatur dalam Pasal 222 Pemilu sebagai
berikut:
Pasangan calon
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang
memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah
secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pada dasarnya,
presidential threshold merupakan ketentuan tambahan yang diamanatkan Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945. Meskipun demikian, presidential threshold merupakan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang perumusannya merupakan
kewenangan dari pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan tersebut.
Untuk memahami kebijakan
hukum terbuka atau open legal policy, silakan baca Apa Itu Open Legal Policy?
Apakah Presidential Threshold Konstitusional?
Pasca Putusan MK
No. 62/PUU-XXII/2024, ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 telah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal.
277).
Hal tersebut karena
pada pokoknya pemberlakuan presidential threshold telah melewati batasan open
legal policy serta ketentuan ambang batas tersebut menyulitkan partai kecil
untuk mewujudkan aspirasi secara langsung dalam pemilihan presiden meskipun
mempunyai kader yang berkualitas. Secara struktural, ambang batas pencalonan
juga menyebabkan eksklusifitas dan mengalienasi pemilihan presiden itu sendiri
(hal. 234).
Selanjutnya,
berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial seperti Amerika, Brazil,
Meksiko dan lain-lain, tidak ditemukan adanya aturan ambang batas minimal
persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential
threshold) (hal. 261 – 264).
Lebih lanjut lagi,
MK merujuk pada risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mengatur
bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai
politik bersangkutan. Oleh karena itu, gagasan penyederhanaan partai politik
dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai
dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan bentuk
ketidakadilan (hal. 270).
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, MK berpendapat bahwa Pasal 222 UU 7/2017 tidak hanya
bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat namun juga melanggar
moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi
MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya (hal. 274).
Dalam Putusan MK
No. 62/PUU-XXII/2024 tersebut terdapat dissenting opinion atau pendapat berbeda
dari Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh
(hal. 277 – 283).
Bahwa pasca Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024 aturan presidential threshold dalam UU Pemilu adalah inkonstitusional karena telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.