
Bagaimana Jika Utang Pewaris Lebih Besar dari Harta Warisan?
Wajibkah Ahli
Waris Menanggung Utang Pewaris?
Pertama-tama, kami akan merujuk pada
ketentuan Pasal 833 ayat (1) KUH
Perdata yang menegaskan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya
karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua
piutang orang yang meninggal. Segala harta peninggalan (harta warisan) dari
seseorang yang telah meninggal dunia baik aktiva dan pasivanya yaitu utang dan
piutangnya diwariskan kepada para ahli waris. Dalam hal ini, seorang ahli waris
dapat memilih apakah ingin menerima secara murni, menerima dengan catatan,
atau menolak warisan.
Apabila seorang
ahli waris memilih menerima secara murni, maka ia bertanggung gugat atas
utang dari pewaris meskipun harta warisan yang diterimanya tidak mencukupi.
Selanjutnya, apabila seseorang menerima warisan dengan catatan, maka ia
turut bertanggung gugat sebatas harta warisan yang diterimanya. Sementara,
apabila seorang ahli waris menolak warisan, maka secara hukum ia bukanlah
ahli waris dan penolakan tersebut harus dinyatakan secara tegas di kepaniteraan
Pengadilan Negeri. Hal ini berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal
1057 s.d Pasal 1058 KUH Perdata.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, ahli waris dapat menanggung semua hak pewaris, termasuk
utangnya. Bagi ahli waris yang bersedia menerima warisan, ahli waris tersebut
harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain,
seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu. Namun,
perlu dicatat bahwa tidak ada seorang pun yang diwajibkan untuk menerima
warisan yang jatuh ke tangannya.
Selanjutnya,
terkhusus bagi pewaris dan ahli waris yang beragama Islam, berlaku KHI yang
secara lebih rinci mengatur mengenai keadaan apabila warisan tidak mencukupi
untuk membayar utang pewaris. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 175
ayat (2) KHI berikut:
Tanggung
jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada
jumlah atau nilai harta peninggalannya.
Oleh karena itu,
ahli waris hanya dibebani kewajiban membayar utang pewaris sebatas pada harta
peninggalan pewaris. Ahli waris tidak berkewajiban menggunakan harta pribadinya
sendiri untuk membayar utang-utang pewaris. Sehingga, dalam hal harta warisan
tidak mencukupi untuk membayar utang pewaris, para ahli waris dapat saja
menolak seluruh warisan atau membayarkannya sebatas pada harta peninggalan
pewaris.
Menghadapi Debt-Collector Utang
Pewaris
Untuk menghadapi debt collector atau penagih
utang, sebaiknya para ahli waris bermusyawarah secara baik-baik dengan pihak
penagih utang. Para ahli waris dapat menjelaskan segi hukum dari kewajiban
pembayaran utang pewaris sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Namun, bagaimana
apabila debt-collector bersikeras dan memaksa ahli waris menlunasi
utang pewaris?
Perlu diketahui bahwa terdapat serangkaian aturan bagi
debitur dalam menagih utang. Misalnya, tidak boleh menyita paksa barang-barang
milik debitur, karena hal tersebut hanya bisa dilakukan atas dasar putusan
pengadilan. Dalam hal debt collector melakukan penyitaan atau
mengambil barang debitur secara paksa pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai
perbuatan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau Pasal
476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal
diundangkan yaitu tahun 2026. Selanjutnya, apabila perbuatan mengambil
barang debitur dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
maka debt collector dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 365
ayat (1) KUHP atau Pasal 479 ayat (1) UU/1 2023.
Ahli Waris
“Pasang Badan” untuk Bayar Utang Pewaris
Pada dasarnya, istilah “pasang badan” yang Anda gunakan
tidak dikenal secara hukum. Apabila istilah tersebut dimaksudkan menunjuk salah
satu orang (ahli waris) untuk melakukan pelunasan utang-utang pewaris, maka
sepanjang penelusuran kami, hal tersebut tidak diwajibkan oleh hukum waris di
Indonesia.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1100 KUH Perdata, bahwa hanya para ahli waris yang bersedia menerima warisanlah yang harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu. Namun, jika ada salah satu atau para ahli waris yang dengan sukarela membayarkan utang-utang pewaris menggunakan harta pribadinya, hal tersebut juga diperbolehkan.
Oleh: Rifdah Rudi, S.H.