Batasan Gratifikasi dan Bedanya Dengan Suap
Oleh: Muhammad
Raihan Nugraha
Apa itu Gratifikasi?
Untuk
menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu gratifikasi, kami akan merujuk pada
dasar hukum UU Tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.
Menurut
Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, gratifikasi adalah pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Selain
itu, menurut KBBI, gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji
yang telah ditentukan.
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gratifikasi merupakan pemberian
secara luas di luar gaji, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri,
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Adakah Batasan Gratifikasi?
Menurut
literatur berjudul Memahami Gratifikasi yang diterbitkan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (“KPK”), pengertian gratifikasi dalam Penjelasan Pasal
12B ayat (1) UU 20/2001 mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat
makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila
penjelasan tersebut dihubungkan dengan rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001,
dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum,
melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B ayat
(1) UU 20/2001 saja (hal. 5). Sehingga, untuk mengetahui kriteria gratifikasi
yang bertentangan dengan hukum (merupakan kejahatan korupsi), perlu dilihat
rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 sebagai berikut:
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
2. Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Adapun
ketentuan pidana gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan
pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Sebagai
informasi, ketentuan pidana gratifikasi tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, yaitu wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal
menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
Melihat
pada uraian Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 di atas, terlihat bahwa tidak diatur
mengenai batasan gratifikasi yang boleh diterima. Pasal tersebut hanya mengatur
bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya.
Lebih
lanjut, dalam Frequently Asked Questions
Gratifikasi Online juga ditegaskan
bahwa kriteria gratifikasi yang dilarang yaitu:
1. gratifikasi
yang diterima berhubungan dengan jabatan;
2. penerimaan
tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik,
memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak
wajar.
Untuk
memudahkan pemahaman Anda, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh
diterima:
1. terkait
dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah;
2. terkait
dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah;
3. terkait
dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar
penerimaan yang sah;
4. terkait
dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari
instansi;
5. dalam
proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;
6. dalam
proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait
dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;
7. sebagai
akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain;
8. sebagai
ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan
jasa;
9. merupakan
hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas;
10. merupakan
fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh pejabat/pegawai dalam
kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi
gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima;
1 1. dalam
rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan;
1 2. dalam
pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan
kewajiban/tugas pejabat/pegawai; dan lain sebagainya.
Oleh
karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima penyelenggara negara atau
pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan
jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya penyelenggara negara atau
pegawai negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut.
Apa Perbedaan Suap dan Gratifikasi?
Menjawab
pertanyaan Anda terkait apa perbedaan suap dan gratifikasi? Disarikan dari
artikel Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi, suap dapat berupa janji,
sedangkan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas dan bukan janji.
Kemudian,
dalam suap ada unsur intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik
dalam pengambilan kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi,
diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap
jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya.
Selain
itu, Prof. Eddy Omar Syarif, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
menerangkan perbedaan suap dan gratifikasi terletak pada ada atau tidaknya
meeting of minds pada saat penerimaan. Pada tindak pidana suap, terdapat
meeting of minds antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana
gratifikasi tidak terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima.
Meeting of minds sendiri adalah istilah lain dari konsensus atau hal yang
bersifat transaksional.