
Bisakah Chat Curhatan Jadi Bukti Dalam Perceraian?
BISAKAH
CHAT CURHATAN JADI BUKTI DALAM PERCERAIAN?
Nada
Davinia Christalya
Perlu diketahui
bahwa hukum acara yang berlaku di pengadilan agama adalah hukum acara
perdata umum, kecuali jika diatur secara khusus dalam undang-undang.
Hal ini termaktub di dalam Pasal 54 UU
Peradilan Agama yang berbunyi:
Hukum
Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Kemudian, dalam hukum
acara perdata, terdapat lima jenis alat bukti, sebagaimana diatur
dalam Pasal 164 HIR/Pasal
284 RBg yaitu:
<!--[if !supportLists]-->1.
<!--[endif]-->bukti dengan surat;
<!--[if !supportLists]-->2.
<!--[endif]-->bukti dengan saksi;
<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->persangkaan-persangkaan;
<!--[if !supportLists]-->4.
<!--[endif]-->pengakuan;
Ketentuan mengenai alat
bukti dalam hukum acara perdata juga diatur di dalam Pasal 1866 KUH
Perdata yaitu meliputi bukti tertulis, bukti saksi,
persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Bisakah Chat Curhatan Jadi Bukti dalam
Perceraian?
Berkaitan dengan
pertanyaan di atas, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa
berdasarkan Pasal 169 HIR keterangan dari seorang saksi saja, dengan
tidak ada suatu alat bukti yang lain, di dalam hukum tidak dapat
dipercaya. Maka dari itu, dalam mengajukan gugatan cerai, tidak cukup jika
hanya memiliki bukti berupa satu orang saksi. Sehingga, perlu dicari alat bukti
lain yang menguatkan selain keterangan dari satu saksi.
Kemudian, chat Whatsapp
tergolong sebagai bukti elektronik sebagaimana diatur di dalam Pasal
5 ayat (1) dan ayat (2) UU
1/2024 yang berbunyi:
(1)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Lebih lanjut mengenai
bukti elektronik tersebut diterangkan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU
1/2024 yang berbunyi:
Keberadaan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai
alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan
Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal
yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Dengan demikian, pada
dasarnya chat Whatsapp yang
berisi curhatan dapat diajukan sebagai bukti elektronik dalam gugatan cerai.
Selanjutnya, keterangan yang
berkenaan dengan isi chat tersebut
dikategorikan sebagai bukti saksi. Disarikan dari artikel “5
Jenis Alat Bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata”, kesaksian
merupakan gambaran dari apa yang telah dilihat, didengar, dan dialami oleh
saksi, dan keterangan-keterangan ini semata-mata bersifat objektif.
Adapun, kesaksian berupa curhatan
dikategorikan sebagai testimonium de
auditu, yaitu kesaksian atau keterangan dari saksi yang tidak
mengetahui langsung penyebab pertengkaran penggugat/pemohon dengan
tergugat/termohon tetapi hanya mendengar cerita dari penggugat/pemohon saja.
Sehingga, kesaksian de auditu
hanya dapat digunakan sebagai sumber persangkaan.
Berdasarkan Yurisprudensi
MA No. 308 K/Pdt/1959 tertanggal 11 November 1950 menentukan bahwa testimonium de auditu tidak dapat
digunakan sebagai alat bukti langsung, tetapi penggunaannya sebagai persangkaan
yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidaklah dilarang.
Lantas, apa itu
persangkaan? Berdasarkan Pasal 1915 KUH Perdata, persangkaan adalah
kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa
yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.
Atas dasar penjelasan di
atas, maka bukti curhatan teman melalui chat dapat dijadikan bukti saat mengajukan suatu gugatan
cerai ke Pengadilan Agama. Sementara itu, keterangan saksi juga dapat digunakan
dalam persidangan, akan tetapi sifatnya bukan sebagai suatu alat bukti
langsung, melainkan sebagai dasar bagi hakim untuk mendapatkan suatu
persangkaan.