Bisakah Terdakwa yang Dibebaskan Menuntut Balik Pelapor?

Jerat Pasal Pencemaran Nama Baik

Menurut The Law Dictionary, pencemaran nama baik (defamation) adalah perbuatan yang merusak atau membahayakan reputasi seseorang dengan pernyataan palsu dan jahat. Di Indonesia, seseorang bisa dituntut karena pencemaran nama baik jika perbuatannya memenuhi unsur-unsur pasal KUHP atau UU 1/2023 yang disebutkan dalam artikel Perbuatan yang Termasuk dalam Pasal Pencemaran Nama Baik.

Selain itu, pelaku pencemaran nama baik di media sosial juga dapat dijerat dengan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.

Disamping tuntutan pidana, perbuatan pencemaran nama baik/penghinaan juga bisa digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1372-1380 KUH Perdata. Gugatan perdata bisa ditempuh jika korban penghinaan menghendaki ganti kerugian atau permintaan maaf oleh pelaku.

Dalam praktik bisa saja pelaku perbuatan pencemaran nama baik atau pengihaan diperkarakan secara bersamaan antara pidana dengan gugatan perdata. Hal ini pernah terjadi dalam kasus pencemaran nama baik dalam perkara pidana, Putusan MA No. 882.K/Pid.Sus/2010 menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah dan menjatuhkan sanksi 6 bulan penjara dengan masa percobaan selama satu tahun. Sedangkan dalam perkara perdatanya, Putusan MA No. 300.K/Pdt/2010 membebaskan terdakwa dari tuntutan ganti kerugian. Terkait dengan dua putusan yang bertentangan tersebut, selanjutnya terdakwa mengajukan peninjauan kembali, dan ahkirnya Putusan MA No. 225 PK/PID.SUS/2011 membatalkan Putusan MA No. 882.K/Pid.Sus/2010.

Pengajuan tuntutan pencemaran nama baik harus disertai kebijakan berdasarkan pertimbangan yang utuh. Dalam banyak kasus yang terjadi di Indonesia tampak fenomena delik pencemaran nama baik bisa dimanfaatkan oleh pihak yang powerful untuk menekan pihak yang lebih lemah posisi tawarnya. Di kalangan aktivis HAM sering mempertentangkan keberadaan delik pencemaran nama baik dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat yang demokratis. 

Bisakah Terdakwa yang Dibebaskan Menuntut Balik Pelapor?

Menurut Pasal 1 butir 24 KUHAP, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Dengan demikian melaporkan peristiwa pidana merupakan:

  1. Hak bagi setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 108 ayat (1) KUHAP).
  2. Kewajiban, bagi:
  1. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik (Pasal 108 ayat (2) KUHAP);
  2. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 108 ayat (3) KUHAP).

Setelah laporan diterima oleh penyelidik atau penyidik dan apabila selanjutnya proses pemeriksaan berlanjut pada tahap penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan, pada akhirnya hakim harus menjatuhkan putusan. Ada tiga kemungkinan putusan hakim:

  1. Jika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya, maka hakim akan menjatuhkan putusan berupa pemidanaan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP);
  2. Jika perbuatan terdakwa terbukti namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka hakim akan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
  3. Jika perbuatan yang didakwakan pada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka hakim akan menjatuhkan putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

Jadi bisa saja terjadi bahwa apa yang dilaporkan oleh seseorang ternyata tidak terbukti, dan berakibat diterbitkannya putusan bebas. Menyambung pertanyaan Anda, kami berpendapat pada prinsipnya tindakan melaporkan seseorang atas dugaan terlibat pada peristiwa tindak pidana, adalah hak yang dilindungi undang-undang. Bahkan untuk tindak pidana tertentu dan bagi pegawai negeri melaporkan tindak pidana yang diketahui merupakan kewajiban. Dengan demikian, sebuah laporan yang dilandasi oleh iktikad baik, sekalipun dalam persidangan ternyata tidak terbukti, bukanlah merupakan pencemaran nama baik karena dalam hal ini tidak terdapat unsur sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang (terlapor).

Pengecualian dari prinsip tersebut adalah apabila dalam membuat laporan, seseorang (pelapor) memiliki niat atau tujuan untuk menyerang kehormatan atau nama baik terlapor dengan sengaja mengajukan laporan palsu. Jika terjadi demikian, pelapor harus didukung dengan bukti-bukti yang cukup untuk memenuhi unsur-unsur pasal pencemaran nama baik.

Pelapor dalam penyelesaian perkara pidana juga dilindungi oleh undang-undang. Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014, mengatur bahwa saksi, korban, saksi pelaku dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

Pasal 310 ayat (3) KUHP mengatur bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Peran pelapor dalam mengungkap terjadinya tindak pidana dan bekerjanya sistem peradilan sangatlah penting. Laporan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujukan untuk kepentingan umum berkaitan dengan penanggulangan kejahatan.

Jadi, pada prinsipnya laporan merupakan hak atau kewajiban seseorang (pelapor) yang dilindungi hukum, sehingga tidak dapat dituntut balik baik secara pidana maupun perdata sekalipun laporannya tidak terbukti. Dikecualikan dari prinsip tersebut jika laporan diajukan tidak dengan iktikad baik. Misalnya pelapor sengaja membuat laporan palsu untuk merusak reputasi orang lain (terlapor). Jika benar demikian, seseorang yang dirugikan (terlapor) bisa menuntut si pelaku pembuat laporan palsu, dengan harus mempersiapkan bukti yang kuat guna pemenuhan unsur-unsur tindak pidana.

oleh : Dr. Al. Wisnubroto, S.H., M.Hum.