Darurat Hukum Tata Negara Darurat

Indonesia dapat disebut sebagai negara yang rentan terhadap situasi darurat. Hal ini terjadi karena Indonesia memiliki beberapa karakteristik, di anatarnya memiliki wilayah yang luas, merupakan negara maritim, keanekaragaman suku, budaya, dan agama, serta memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Karakteristik tersebut menyebabkan memungkinkannya terjadi fenomena darurat atau bahaya yang harus dialami Indonesia. Sebagaimana kondisi darurat yang pernah terjadi di Indonesia seperti bencana tsunami di Aceh, kasus lumpur Lapindo, penerapan Daerah Operasi Militer di Aceh, kemudian kasus di Timor Timur, hingga peristiwa Agresi Militer II pasca proklamasi yang berakibat terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat.

Kerentanan kondisi bahaya di Indonesia, tidak diimbangi dengan memiliki regulasi hukum kedaruratan yang cukup baik sesuai dengan kaidah peraturan perundang-undangan. Sebagaimana regulasi hukum darurat di Indonesia, saat ini masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya (Perppu No. 23/1959) sebagai regulasi yang utuh membahas mengenai penerapan keadaan darurat di Indonesia.

Padahal pembahasan mengenai hukum tata negara darurat sebagai sarana pemahaman yang penting dalam penyelenggaraan negara ketika dihadapi dengan situasi bahaya, sebagaimana atribusi Pasal 12 UUD 1945 yang menyebutkan “Presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Keadaan bahaya atau darurat memungkinkan pemerintahan tidak dapat berjalan sebagaimana kondisi normal, karena adanya upaya luar biasa dari penguasa darurat dengan dalih “menyelamatkan negara”, sehingga perlunya pengaturan pembatasan mengenai jalanya pemerintahan di masa darurat agar tidak bertindak abuse of power.

Hukum tata negara darurat sebagai aturan dan wewenang yang dilakukan negara secara luar biasa (Herman Sihombing, 1996: 1). Tindakan luar biasa ini dilakukan dalam waktu yang singkat, dan diharapkan dari upaya ini mampu menghapus status darurat yang mengancam dalam kehidupan seperti semula melalui mekanisme yuridis.

Banyak istilah yang merujuk kepada istilah negara darurat yang mengartikan negara berada dalam status bahaya baik itu adanya perang ataupun juga krisis, sebagaimana yang dipraktikkan di berbagai negara. Istilah tersebut diantaranya “state of emergency” yang digunakan di India, Pakistan, Irlandia, dan Afrika Selatan. Selain itu, terdapat istilah “State of civil emergency” yang digunakan pada negara Belanda, “stat of siege (etat d’ siege)” yang digunakan pada negara Belgia, Prancis, Brazil, dan Argentina. Kemudian juga terdapat istilah “state of public danger” yang termuat dalam Konstitusi Italia (Jimly Asshiddiqie, 2007: 7-8).

Sebenarnya, saat ini Indonesia memiliki berbagai macam peraturan dengan karakteristik darurat. Seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan yang terbaru Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

Akan tetapi, dalam regulasi tersebut tidak ada satupun yang memuat Pasal 12 UUD 1945 sebagai konsideran, melainkan hanya memuat Pasal 22 UUD 1945. Padahal Pasal 12 yang diatur dalam UUD 1945 merupakan sebagai pintu menuju perubahan rezim hukum, yang semula rezim hukum normal berubah menuju aktivasi rezim hukum darurat. Sedangkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” memiliki karakteristik yang berbeda dengan “keadaan bahaya/darurat”.

Pengaturan hukum darurat diperlukan agar Pemerintahan tidak bertindak secara diktator. Sebab dalam pemerintahan darurat, pemerintah memungkinkan bertindak dalam hal yang sifatnya luar biasa, untuk mengatasi keadaan darurat tersebut agar situasi menjadi normal seperti semula, dengan dalih “menyelamatkan negara”, maka akan adanya hukum pengecualian seperti pengecualian atas hak atas individu tertentu selain yang sifatnya tidak dapat dikurangi (non-derogable right). Oleh sebab itu, hal ini harus diatur terlebih dahulu mengenai hal luar biasa apa saja yang harus diatur dalam undang-undang kedaruratan tersebut.

Masih mengacunya pada Perppu No. 23/1959, yang hingga saat ini belum dicabut sebagai instrumen kedaruratan di Indonesia memiliki polemik tersendiri. Padahal Perppu a quo mengacu kepada naskah asli UUD 1945 sebelum amandemen dan juga memuat ketentuan yang sifatnya parlementer karena terdapat “Menteri Pertama” yang merupakan kepala pemerintahan sebagai leading sector. Sehingga sangat tidak sesuai dengan kondisi saat ini, dan perlu adanya reformasi regulasi terhadap peraturan tersebut.

Perppu a quo walaupun masih memiliki validitas sebagai norma yang mengikat, akan tetapi tidak terpenuhinya asas “daya guna” atau efficacy sebagai peraturan perundang-undangan. Sebab harus disesuaikan dengan perkembangan saat ini pasca 64 tahun keberlakuannya. Mengingat bahwa peraturan perundang-undangan bisa dikatakan bermasalah ketika di dalamnya terdapat tiga hal karakteristik yang memicu konflik seperti multitafsir, inkonsisten, dan tidak operasional.

Tidak beroperasionalnya suatu norma menyebabkan peraturan tersebut tidak memiliki daya guna, karena tidak memiliki manfaat dalam menjalankan fungsinya sebagai produk hukum. Sehingga harus disesuaikan dengan kebutuhan pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini, sebagai bentuk implementasi atas terciptanya “kepastian hukum” dan “kemanfaatan” dalam negara hukum.

Kedayagunaan bersamaan dengan kehasilgunaan merupakan sebagai salah satu asas dari pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 5 UU No. 12/2011 jo. UU No. 13/2022 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Oleh karena itu, pengaturan hukum kedaruratan harus melakukan reformasi regulasi, agar ia bisa sesuai dengan konteks kebutuhan dan kondisi saat ini.

Pengaturan mengenai regulasi hukum tata negara darurat yang mengharuskan dalam bentuk undang-undang merupakan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 12 UUD 1945, yang memuat frasa “syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” Sehingga sebagai negara hukum, seharusnya Indonesia taat menjalankan supremacy of constitution sebagai norma tertinggi. Ketaatan tersebut mengharuskan adanya sikap patuh pembuat undang-undang untuk senantiasa bersandar kepada konstitusi dalam membuat norma. Sebab norma hukum suatu negara untuk mendapatkan validasi mengharuskan untuk selalu bersumber kepada konstitusi selaku norma dasar dan juga norma tertinggi.

Sebagaimana Hans Kelsen dalam Stufentheory, idenya tentang Groundnorm sebagai norma dasar dalam suatu negara mengharuskan memiliki posisi tertinggi dari norma lainnya, dan norma dasar tersebut menjadi sumber atas norma di bawahnya. Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan norma dasar di Indonesia, memiliki konsekuensi logis bahwa undang-undang harus sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan harus mengikuti pola yang diperintahkan oleh UUD 1945 selaku konstitusi negara.

Negara hukum seharusnya mampu memiliki sarana undang-undang yang memadai baik dari segi kesediaan norma, maupun juga norma yang tersedia mengharuskan sejalan dengan pemahaman konstitusi, dan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan agar penyelenggaraan negara bisa berjalan sesuai dengan prosedur dan ketentuan negara hukum, serta tidak bertindak serta merta yang berakibat kepada tidak tertibnya penerapan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.