Dinamika Konvergensi Hukum Telematika Dalam Sistem Hukum Nasional
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat pesat dalam lima tahun terakhir ini telah membawa dampak
kepada tingkat peradaban manusia yang membawa suatu perubahan besar dalam
membentuk pola dan perilaku masyarakat Kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat tersebut antara lain terjadi pada bidang telekomunikasi, informasi, dan
komputer. Terlebih dengan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi,
informasi, dan komputer. Dari fenomena konvergensi tersebut, saat ini orang
menyebutnya sebagai revolusi teknologi informasi.
Konvergensi Bidang Telematika dan UU ITE
Hasil konvergensi di bidang
telematika salah satunya adalah aktivitas dalam dunia siber yang telah
berimplikasi luas pada seluruh aspek kehidupan. Persoalan yang muncul adalah
bagaimana untuk penggunaannya tidak terjadi
singgungan-singgungan yang menimbulkan persoalan hukum. Pastinya ini
tidak mungkin, karena pada kenyataannya kegiatan siber tidak lagi sesederhana
itu. Kegiatan siber tidak lagi bisa dibatasi oleh teritori suatu negara dan
aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, karena itu
kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak
pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui
pembelanjaan di internet.
Meskipun secara nyata kita
merasakan semua kemudahan dan manfaat atas hasil konvergensi itu, namun bukan
hal yang mustahil dalam berbagai penggunaannya terdapat berbagai permasalahan
hukum. Hal itu dirasakan dengan adanya berbagai penggunaan yang menyimpang atas
berbagai bentuk teknologi informasi, sehingga dapat dikatakan bahwa teknologi
informasi digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, atau sebaliknya
pengguna teknologi informasi dijadikan sasaran kejahatan. Sebagai contoh
misalnya, dari suatu konvergensi didalamnya terdapat data yang harus diolah,
padahal masalah data elektronik ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap,
dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik.
Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat, bahkan sangat
dahsyat.
Pesatnya perkembangan teknologi
digital yang hingga pada akhirnya menyulitkan pemisahan teknologi informasi,
baik antara telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi merupakan
dinamika konvergensi. Proses konvergensi teknologi tersebut menghasilkan sebuah
revolusi “broadband” yang menciptakan berbagai aplikasi baru yang pada akhirnya
mengaburkan pula batasan-batasan jenis layanan, misalnya VoIP yang merupakan
layanan turunan dari Internet, Broadcasting via Internet (Radio Internet dan TV
Internet) dsb. Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi, maka
pengaturan teknologi informasi tidak cukup hanya dengan peraturan
perundang-undangan yang konvensional, namun dibutuhkan pengaturan khusus yang
menggambarkan keadaan sebenarnya dari kondisi masyarakat, sehingga tidak ada
jurang antara substansi peraturan hukum dengan realitas yang berkembang dalam
masyarakat. Misalnya untuk kegiatan-kegiatan siber. Meskipun bersifat virtual,
kegiatan siber dapat dikategorikan sebagai
tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya
lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum
konvensional untuk dapat dijadikan objek
dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan
dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak
sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek
pelakunya harus dikualifikasikan pula
sebagai orang yang telah
melakukan perbuatan hukum secara nyata.
Aplikasi yang sangat banyak
dipakai dari kegiatan siber adalah
transaksi-transaksi elektronik, sehingga transaksi secara online saat
ini menjadi issu yang paling aktual. Dan, sebenarnya hal ini menjadi persoalan
hukum semenjak transaksi elektronik mulai diperkenalkan, disamping persoalan
pengamanan dalam sistem informasi itu sendiri. Tanpa pengamanan yang ketat dan
canggih, perkembangan teknologi informasi tidak memberikan manfaat yang
maksimal kepada masyarakat. Teknologi digital memungkinkan penyalahgunaan
informasi secara mudah, sehingga masalah keamanan sistem informasi menjadi
sangat penting.
Pendekatan keamanan informasi
harus dilakukan secara holistik, karena itu terdapat tiga pendekatan untuk
mempertahankan keamanan di dunia maya, pertama adalah pendekatan teknologi,
kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum[9]. Untuk
mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi sifatnya mutlak dilakukan,
sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat mudah disusupi, dintersepsi,
atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Satu langkah yang dianggap
penting untuk menanggulangi itu adalah telah diwujudkannya rambu-rambu hukum
yang tertuang dalam Undang-undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU No. 11
Tahun 2008 yang disebut sebagai UU ITE). Hal yang mendasar dari UU ITE ini
sesungguhnya merupakan upaya mengakselerasikan manfaat dan fungsi hukum
(peraturan) dalam kerangka kepastian hukum.
Dengan UU ITE diharapkan seluruh
persoalan terkini berkaitan dengan aktitivitas di dunia maya dapat diselesaikan
dalam hal terjadi persengketaan dan pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan
bahkan korban atas aktivitas di dunia maya. Oleh karena itu UU ITE ini
merupakan bentuk perlindungan kepada seluruh masyarakat dalam rangka menjamin
kepastian hukum, dimana sebelumnya hal ini
menjadi kerisauan semua pihak, khususnya berkenaan dengan munculnya
berbagai kegiatan berbasis elektronik.
Ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam UU ITE meskipun secara umum pengaturannya tetapi cukup komprihensif dan
mengakomodir semua hal terkait dunia
siber[11]. Materi yang diatur dalam UU ITE umumnya merupakan hal baru dalam
sistem hukum kita, hal tersebut meliputi : masalah pengakuan transaksi dan alat
bukti elektronik, penyelesaian sengketa, perlindungan data, nama domain dan Hak
Kekayaan Intelektual, serta bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang beserta
sanksi-sanksinya.
Bila dilihat dari sudut pandang
keilmuan, UU ITE memiliki berbagai aspek hukum, sehingga dikatakan sebagai UU
multi aspek, karena banyak memiliki aspek, dan hampir seluruh aspek hukum
diatur. Aspek hukum transnasional, karena jelas-jelas UU ini mengatur lingkup
yang tidak saja di Indonesia tetapi melewati batas negara. Aspek hukum pidana,
mengatur Crime (kejahatan), Aspek Hukum Perdata yang mengatur
transaksi-transaksi di bidang bisnis. Aspek Hukum Administrasi, karena
menyangkut adanya pemberian izin oleh pemerintah dan aspek hukum acara baik
Pidana maupun Perdata.
Kita harus akui bahwa kritikan
yang bertubi-tubi juga terjadi pada UU ITE. Beberapa persoalan tersebut
menyangkut kepada : pertama, apakah transaksaksi dapat berjalan, karena banyak
persoalan teknis yang harus disiapkan khususnya menyangkut pada transaksi dan
penyelenggaraan sistem elektronik; kedua, masalah berkaitan dengan hak asasi
manusia dalam menyampaikan pendapat; dan ketiga, masalah ketentuan sanksi
(pidana), yang dianggap terlalu berlebihan dan memberatkan. Masalah ini perlu
kita perhatikan karena implementasi peraturan (hukum) setidaknya harus dapat
memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi masyarakat.
Di samping segala kelebihan dan
manfaat dari Internet, penggunaan jaringan global maya tersebut berpotensi
memiliki dampak hukum yang serius dan diperlukan langkah-langkah konkrit untuk
mengatasi masalah yang timbul sekaligus mengantisipasi berbagai masalah hukum
di masa yang akan datang. Dengan pendekatan hukum yang saat ini telah berdasar
atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE,
maka UU ITE merupakan bentuk upaya perlindungan kepada masyarakat. Dan,
setidaknya UU ITE mengatur dua hal yang amat penting, Pertama : pengakuan
transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan
hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
Kedua: diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran
hukum terkait penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya termasuk untuk
tindakan carding, hacking dan cracking.
Beberapa masalah hukum yang
teridentifikasi dalam penggunaan teknologi informasi adalah mulai dari
penipuan, pelanggaran, pembobolan informasi rahasia, persaingan curang sampai
kejahatan yang sifatnya pidana. Kejadian-kejadian tersebut sering terjadi tanpa
dapat diselesaikan secara memuaskan melalui hukum dan prosedur penyidikan yang
ada saat ini. Tentunya ini merupakan tantangan bagi penegak hukum. UU ITE telah
sangat tegas mengatur secara tegas baik dari tata cara penyidikannya hingga
perluasan alat bukti[14]. Namun bagian terpenting adalah implementasi di
lapangan untuk penegakan hukum dalam kaitannya beraktivitas di dunia maya.
Dalam hukum perdata dan bisnis,
urusan yang diatur dalam UU ITE adalah didasarkan pada urusan transaksi
elektronik yang meliputi transaksi bisnis dan kontrak elektronik.[15] Masalah
yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE tersebut adalah hal yang berkaitan
dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari Informasi, Dokumen, dan
Tanda Tangan Elektronik. Pengaturan Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan
Elektronik[16]. Juga secara umum dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah,
yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan Tanda Tangan Elektronik,
memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Disamping itu Pasal 5 ayat 1
s/d ayat 3, secara tegas menyebutkan :
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Namun dalam ayat
(4) ada pengecualian yang menyebutkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
Dalam kaitannya dengan
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik dan Sistem Elektronik, kewajiban
Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik menjadi hal yang penting diatur dalam UU
ini, misalnya Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus menyediakan informasi
yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna jasa, yang meliputi: a.
metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan; b. hal yang dapat
digunakan untuk mengetahui data diri
pembuat Tanda Tangan Elektronik; dan c. hal yang dapat digunakan untuk
menunjukkan keberlakuan dan keamanan Tanda Tangan Elektronik[17]. Sedang, bagi
Penyelenggaraan Sistem Elektronik,
Penyelenggara harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman
agar Sistem Elektronik beroperasi sebagaimana mestinya.[18] Dan, untuk
memberikan perlindungan bagi masyarakat, maka dalam UU ITE diatur masalah
berkenaan dengan transaksi secara elektronik. Hal ini untuk menjaga hubungan
antar pihak dalam menentukan rambu-rambu dalam melaksanakan transaksi.