Hukumnya Menjual Dan Memakan Daging Anjing

Oleh: Bernadetha Aurelia Oktavira

 

Produk Hewan sebagai Pangan

Berbicara mengenai hukumnya makan daging anjing karena manfaat daging anjing untuk pengobatan, ada perlunya kita menilik beberapa peristilahan yang terkait. Pertama, pengertian pangan yang tercantum dalam Pasal 64 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 1 UU 18/2012:

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Selain itu, UU 18/2009 dan perubahannya mendefinisikan ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.

Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan. Pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.

Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib disertai:

  a.     sertifikat veteriner yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa hewan dan produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan; dan

  b.     sertifikat halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan.

 

Ketentuan Produk Hewan di Solo

Sementara itu, menyambung pertanyaan Anda, kota Solo atau Surakarta sendiri telah memiliki dua peraturan daerah yaitu Perda Surakarta 9/2015 dan Perwali Surakarta 4/2019. Dalam Perda 9/2015 diuraikan bahwa produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia.

Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke daerah untuk diedarkan wajib disertai dengan sertifikat veteriner dan sertifikat halal bagi hewan yang dipersyaratkan.

Unit usaha produk hewan sendiri termasuk:

  a.     rumah potong hewan ruminansia (RPH-R), rumah potong hewan unggas (RPH-U), rumah potong hewan babi;

   b.     usaha pemasukan dan pengeluaran produk hewan;

   c.      tempat pemerahan; 

  d.     usaha distribusi dan/atau usaha ritel (pengecer) produk hewan, meliputi pelaku usaha yang mengelola gudang pendingin daging (cold storage), unit pendingin susu (milk cooling centre), gudang pendingin susu, tempat penampungan susu, toko/kios daging (meat shop), pengemasan dan pelabelan telur serta tempat penjualan produk hewan;

  e.      usaha pengolahan produk hewan.

Rumah potong hewan yang dimaksud di atas merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.

Selain itu, setiap orang yang menyelenggarakan unit usaha produk hewan wajib memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Untuk mendapatkannya, unit usaha produk hewan harus memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi.

 

Larangan Makan Daging Anjing

Uraian di atas menunjukkan bahwa daging anjing tidak diakui secara eksplisit sebagai salah satu produk hewan yang dapat dikonsumsi. Menurut hemat kami, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam memproduksi produk hewan di atas seharusnya juga dapat mencegah produksi daging anjing. Hal ini terlepas dari adanya perdebatan mengenai larangan makan daging anjing itu sendiri.

Selain itu, apabila berpedoman pada Bagian E SE Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018, telah ditegaskan bahwa daging anjing tidak termasuk dalam definisi pangan. Para pihak yang menjadi subjek surat tersebut juga diimbau diantaranya untuk:

  1.     tidak menerbitkan Sertifikat Veteriner (Surat Keterangan Kesehatan Produk Hewan/SKKPH) khusus untuk daging anjing apabila diketahui untuk konsumsi dan Surat Rekomendasi Pemasukan Daging Anjing Konsumsi serta memperketat pengawasan lalu lintas peredaran/perdagangan daging anjing;

  2.     tetap menerbitkan Sertifikat Veteriner (Surat Keterangan Kesehatan Produk Hewan/SKKPH) sebagai persyaratan administrasi lalu lintas anjing hidup dan Surat Rekomendasi Pemasukan anjing hidup disertai dengan hasil uji laboratorium dengan minimal mencantumkan asal, tujuan, dan peruntukannya (sebagai anjing peliharaan/kesayangan/berburu);

  3.     membuat surat imbauan secara tertulis di wilayah masing-masing untuk tidak melakukan peredaran dan/atau perdagangan daging anjing secara komersial.

Pemerintah sendiri melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan dalam lamannya menyatakan telah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi terkait perdagangan anjing baik dalam bentuk seminar, talkshow, aksi, petisi, dan sebagainya.

Sebagai contoh daerah yang melarang memperjualbelikan atau makan daging anjing, Walikota Malang melalui SE Walikota Malang No. 5/2022 menyatakan larangan bagi pedagang untuk menjual produk daging anjing di pasar rakyat, pasar modern, dan tempat berdagang lainnya. Para pelaku usaha, resto, warung, dan pedagang kaki lima pun dilarang menyediakan makanan dari bahan yang berasal dari produk daging anjing. Atas pelanggaran penjualan daging anjing tersebut, Satpol PP akan melakukan penindakan.