Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Oleh: Renie Aryadani

Konsep crimes against humanity pertama kali diperkenalkan di era setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam Pasal 6 huruf c Charter of the International Military Tribunal, tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dijelaskan sebagai berikut:

CRIMES AGAINST HUMANITY: namely, murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war; or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated.

Jika diterjemahkan secara bebas, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan tersebut dilakukan.

Seiring dengan perkembangan di bidang hukum pidana internasional, penjelasan terkait kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut kemudian diadaptasi dan digunakan di dalam beberapa statuta pengadilan internasional, antara lain:

      1.      Statute of the International Military Tribunal for the Far East;

      2.      Statute of the International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (“ICTY”);

      3.      Statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda (“ICTR”); dan

      4.      Rome Statute of the International Criminal Court (“ICC”).

Saat ini, dapat dikatakan bahwa pengaturan terkait crimes against humanity yang paling komprehensif terdapat pada Rome Statute of the International Criminal Court (“Statuta Roma”), atau statuta pendirian dari ICC. Dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma diatur mengenai jenis-jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah:

“Kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan pengetahuan tentang serangan tersebut:

      a.       Pembunuhan;

      b.      Pemusnahan;

      c.       Perbudakan;

      d.      Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;

    e.       Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f.       Penyiksaan;

     g.      Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;

    h.      Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah;

i.        Penghilangan paksa;

j.        Kejahatan apartheid;

     k.      Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Ketentuan tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 7 ayat (2) Statuta Roma, yaitu:

    1.      Serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut;

   2.      Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja, antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk;

   3.      Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang, termasuk tindakan mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak;

     4.      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan lainnya dari tempat dimana penduduk tersebut secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional;

    5.      Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali itu, bahwa penyiksaan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau insidental dari pengenaan sanksi yang sah;

     6.      Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan;

    7.      Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif;

    8.      Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tersebut;

    9.      Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara ataupun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.

 

Serangan Meluas atau Sistematik

Sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 7 ayat (1) Statuta Roma, salah satu elemen penting pada kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya serangan yang meluas atau sistematik.

Pada dasarnya, istilah luas (widespread) merujuk pada banyaknya jumlah korban, sedangkan istilah sistematik (systematische) merujuk pada adanya kebijakan atau rencana untuk melakukan serangan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kemudian, syarat bahwa kejahatan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik merupakan unsur internasional pertama. Sedangkan unsur internasional kedua adalah “ditujukan kepada penduduk sipil”. Unsur ini menjadi unsur pembeda antara kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena penduduk sipil dalam hal ini adalah mereka yang sama kewarganegaraannya dengan pelaku. Kedua unsur internasional ini menjadikannya layak untuk dikriminalisasi secara internasional.

Selanjutnya, penting untuk diketahui bahwa dalam kejahatan perang, syarat korbannya adalah musuh, baik penduduk sipil maupun orang-orang yang tidak lagi aktif dalam pertempuran. Hal ini menjadikan korbannya harus berbeda kebangsaan dengan pelaku. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan korbannya adalah penduduk sipil tanpa mempedulikan kewarganegaraannya serta apalah mereka dianggap musuh atau bukan.

 

Actus Reus dan Mens Rea

Beberapa tahun lalu muncul pemberitaan terkait serangan terhadap penduduk sipil di Suriah dengan menggunakan senjata biologis di berbagai media. Untuk menganalisis apakah serangan yang diluncurkan terhadap penduduk sipil di Suriah termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan, kita perlu mengamati elemen-elemen yang telah dijabarkan di atas. Hal ini berkaitan dengan actus reus (tindakan jahat) dan mens rea (niat jahat) dalam tindakan tersebut.

Pertama, actus reus, yaitu telah terjadi serangan secara nyata dengan menggunakan senjata biologis di Provinsi Idlib yang menewaskan penduduk sipil (terdiri dari anak-anak dan orang dewasa). Skala serangannya pun dapat dibilang cukup massive dan telah menimbulkan efek yang serius terhadap penduduk sipil.

Kedua, mens rea, yaitu penting untuk dibuktikan bahwa tindakan yang dilakukan pemberontak terhadap penduduk sipil di Suriah adalah tindakan terpola yang memang diniatkan oleh pelaku untuk menghabisi nyawa penduduk sipil dalam skala besar.

Namun, membuktikan mens rea bukanlah merupakan hal yang mudah. Salah satu cara untuk membuktikan mens rea adalah melalui adanya rencana/kebijakan serangan, namun rencana tersebut tidak harus dinyatakan secara tegas atau terang-terangan sebagaimana dinyatakan secara tersirat dalam kasus Kunarac, Kovac and Vukovic Appeal Judgement, (number 81).

Berdasarkan pertimbangan di atas, kita perlu berhati-hati dalam mengklasifikasikan suatu perbuatan apakah termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan. Meskipun secara kasat mata tindakan yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Suriah telah memenuhi syarat actus reus, namun kita memerlukan kajian yang lebih dalam menentukan mens rea yang dimiliki oleh pelaku.