
Konsultasi Hukum oleh Mahasiswa, Memang Boleh?
Pengertian
Jasa Hukum dan Advokat
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konsultasi hukum. Merujuk
pada UU Advokat,
konsultasi hukum termasuk ke dalam jasa hukum yang diberikan oleh
advokat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU Advokat yang
berbunyi:
Jasa Hukum adalah jasa yang
diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien.
Kemudian, yang dimaksud dengan advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU
Advokat.
Lebih lanjut, persyaratan yang harus dipenuhi
untuk dapat diangkat menjadi advokat adalah sebagai
berikut:
- warga
negara Republik Indonesia;
- bertempat
tinggal di Indonesia;
- tidak
berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
- berusia
sekurang-kurangnya 25 tahun;
- berijazah
sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah
mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”) yang dilaksanakan
oleh Organisasi Advokat;
- lulus
ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
- magang
sekurang-kurangnya 2 tahun terus menerus pada kantor Advokat;
- tidak
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;
- berperilaku
baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi
Berdasarkan ketentuan
di atas, mahasiswa hukum yang belum diangkat
menjadi advokat sudah seharusnya tidak dapat
memberikan konsultasi hukum. Secara historis, setiap orang yang
dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah
sebagai advokat dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5
tahun dan denda paling banyak Rp50 juta sebagaimana diatur dalam Pasal
31 UU Advokat.
Namun dalam perkembangannya, ketentuan Pasal
31 UU Advokat sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat sebagaimana diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK
No. 006/PUU-II/2004. Guna mempermudah pemahaman Anda, berikut
kami uraikan pertimbangan putusan tersebut:
- Pasal
31 UU Advokat bukan hanya mengakibatkan tidak memungkinkan lagi
berperannya lembaga-lembaga sejenis Lembaga Konsultasi
dan Bantuan Hukum di lingkungan kampus yang memberikan
bantuan dan pelayanan hukum kepada masyarakat yang kurang mampu.
Ketentuan dalam Pasal 31 UU Advokat juga dapat mengancam setiap
orang yang hanya bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan
hukum. Sehingga, jika seseorang yang memberi penjelasan
hukum menerima pemberian yang tidak dimaksudkan sebagai honorarium
oleh pihak yang memberi, dapat dituduh telah melakukan perbuatan
“bertindak seolah-olah sebagai advokat” dan karenanya diancam dengan
pidana yang sedemikian berat (hal. 16);
- Menurut Pasal
28F UUD 1945, memilih
sumber informasi yang dipandang tepat dan terpercaya adalah hak semua
orang. Di lain sisi, Pasal 31 UU Advokat jo. Pasal
1 angka 1 UU Advokat membatasi kebebasan seseorang untuk
memilih sumber informasi, karena seseorang yang melakukan konsultasi
hukum di luar pengadilan hanya dibenarkan apabila sumber informasi
tersebut adalah seorang advokat. Sehingga, jika seseorang
bukan advokat memberikan informasi hukum, ia
berpotensi diancam pidana berdasarkan Pasal
31 UU Advokat (hal. 16);
- Sebagai
undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU Advokat tidak
boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang
boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat, karena
hal tersebut harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara
yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang
berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte
procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban
demikian menurut hukum acara, maka pihak lain di luar advokat
tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan
pengadilan (hal. 16).
Menurut hemat kami, dengan
adanya putusan MK yang mencabut ketentuan Pasal 31 UU
Advokat, maka putusan tersebut membuka kesempatan bagi
kalangan non-advokat untuk dapat memberikan konsultasi hukum kepada
masyarakat. Lantas, apakah mahasiswa boleh memberikan konsultasi hukum?
Berikut ulasannya.
Apakah Mahasiswa Boleh memberikan Konsultasi Hukum?
Menjawab pertanyaan Anda, UU Bantuan Hukum telah
mengatur keikutsertaan mahasiswa hukum yang berkeinginan
untuk memberikan konsultasi hukum secara langsung kepada masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU Bantuan Hukum, pemberi bantuan hukum yang dalam hal ini
adalah Lembaga Bantuan Hukum (“LBH”) atau
organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum, berhak untuk merekrut advokat,
paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum untuk dapat menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi
hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan bantuan
hukum.
Lebih lanjut, dengan
bergabung bersama LBH atau
organisasi kemasyarakatan berdasarkan UU Bantuan Hukum, mahasiswa fakultas
hukum juga mendapatkan
perlindungan hukum baik secara perdata maupun pidana dalam memberikan
konsultasi hukum kepada
masyarakat, selama pemberian bantuan hukum tersebut dilakukan dengan iktikad baik.
Jerat
Hukum Advokat Gadungan
Namun, bagaimana hukumnya jika dalam
memberikan konsultasi hukum, seseorang tidak beriktikad baik? Sebagai
contoh berdasarkan pertanyaan Anda, seseorang mengaku advokat tetapi
nyatanya belum diangkat sebagai advokat.
Menurut hemat kami, orang tersebut dapat dijerat
dengan pasal tindak pidana penipuan yang diatur
dalam KUHP lama
yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang
mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada
tahun 2026. Berikut adalah masing-masing ulasannya.
KUHP |
UU 1/2023 |
Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang,
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. |
Pasal 492 Setiap Orang yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan
memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau
rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu Barang,
memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana
karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana |
Disarikan dari artikel berjudul Jika Orang
yang Direkomendasikan Terlibat Pasal Penipuan, terkait
pasal penipuan, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.261)
menerangkan ada sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan yang perlu
diperhatikan, yaitu:
- membujuk
orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
- maksud
pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hak;
- membujuknya
itu dengan memakai:
- karangan
perkataan bohong.
- akal
cerdik atau tipu muslihat
- nama
palsu atau keadaan palsu.
Namun menurut hemat kami, apabila orang
yang mengaku advokat memalsukan kartu advokat, maka orang
tersebut juga dapat dijerat dengan pasal tindak pidana pemalsuan surat.
Tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 KUHP dengan
pidana penjara paling lama 6 tahun, dan diatur dalam Pasal 391 UU
1/2023 dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda
paling banyak kategori VI, yaitu Rp2 miliar.