Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan Hukumnya
Mangkir Bayar Utang Bisa Dipidana? Begini Penjelasan
Hukumnya
Oleh:
Fitri Novia Heriani
Ada
pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut
secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378
KUHP.
Kegiatan pinjam
meminjam, atau utang piutang merupakan hal lumrah dalam sebuah kegiatan
ekonomi. Utang piutang ini biasanya dituangkan dalam sebuah perjanjian antar
kedua belah pihak, yang didalamnya memuat mekanisme pembayaran utang, tenor,
bunga, dan langkah yang ditempuh jika salah satu pihak gagal menunaikan
kewajiban (wanprestasi).
Dalam dunia bisnis,
kegagalan debitur dalam membayar utang sering ditemukan ketika usaha tidak
berjalan dengan baik dan mengalami kesulitan keuangan. Hal ini biasa terjadi
dalam perjanjian utang piutang antara debitur dan kreditur (bank). Namun
perjanjian utang piutang juga bisa dilakukan oleh orang pribadi dengan orang
pribadi lainnya.
Bagaimana jika salah
satu pihak mangkir dalam perjanjian utang piutang atau tidak mampu membayar
utang sebagaimana diatur kedua belah pihak dalam perjanjian? Apakah pihak yang
mangkir bisa dilaporkan ke pihak kepolisian atau dipidana?
Dikutip dalam Klinik
Hukumonline dengan judul “Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang
Dipidana?”, pada dasarnya tak ada ketentuan yang melarang seseorang untuk
melaporkan orang yang tidak membayar utang ke pihak kepolisian. Membuat laporan
atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang, namun belum tentu perkara
tersebut dapat naik ke proses peradilan.
Akan tetapi dalam
Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
telah mengatur bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara.
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang piutang,” demikian bunyi Pasal 19 ayat (2).
Jika merujuk Pasal 19
ayat (2), walaupun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian terkait sengketa
utang piutang, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena
ketidakmampuannya membayar utang. (Baca Juga: Tips
Menghindari Pejabat Notaris dan PPAT Bodong)
Maka di sinilah peran
dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat
sangat diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan
memidanakan suatu perbuatan hukum perdata.
Ada
pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut
secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378
KUHP.
Untuk diketahui hukum
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Dalam KUHPer terjemahan Prof. Subekti,
perjanjian didefenisikan “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Secara khusus,
mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur
dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian
dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4.
Suatu sebab yang halal.
Namun demikian dalam
praktiknya, beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan
secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar
Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal
378 KUHP tentang Penipuan.
Padahal substansi dari
tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari
suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses
secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam
terpenuhinya unsur-unsur pasal pidana tersebut.
Akan tetapi, ada
pengecualian dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong
atau tidak ada dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964
tentang Larangan Penarikan Cek Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 17 Tahun
1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan keengganan orang
dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah
Agung No 1036K/PID/1989 yang berbunyi: “bahwa sejak semula terdakwa
telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban
adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga
dengan demikian tuduhan "penipuan" harus dianggap terbukti.”
Advokat Alvin Sulaiman
menjelaskan perihal kemungkinan sengketa utang piutang bisa berakhir di ranah
pidana. Menurutnya, perkara perdata berupa wanpretasi dapat dilaporkan pidana
dengan memenuhi beberapa unsur, yakni apabila perjanjian telah dibuat dengan
memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Wanprestasi berasal
dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya
perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih
lainnya (obligatoire overeenkomst). Wanprestasi dikategorikan ke dalam
perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):
Ada
pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut
secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378
KUHP.
a. Tidak melakukan apa
yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Sedangkan, penipuan
adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV
tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah
sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan bunyi
pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah: a. Dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum; b. Menggerakkan orang
untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang; c. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai
nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
“Unsur poin c di atas
yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk
mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian
sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990
tanggal 26 Juli 1990,” katanya dalam artikel Klinik Hukumonline mengenai
“Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan?”