![](https://jdih.sukoharjokab.go.id/images/berita/0c61faed3000251a2e330567507f09fc.jpg)
Tinjauan Hukum tentang Judi
Bicara
tentang “Judi” termasuk “Sabung Ayam” yang lebih dikenal dengan tajen selain
dilarang oleh Agama, juga secara tegas dilarang oleh hukum positif (KUHP). Hal
ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 303 KUHP, Jo. UU No.7 tahun 1974
tentang Penertiban Judi Jo. PP.No.9 tahun 1981 Jo. Instruksi Presiden dan
Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1 April 1981.
Hal ini disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban
perjudian, pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 1974, yang di
dalam pasal 1, mengatur semua tindak pidana judian sebagai kejahatan. Di sini
dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan tetapi
sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (pasal 303 KUHP), ada yang
berbentuk pelanggaran (pasal 542 KUHP) dan sebutan pasal 542 KUHP, kemudian
dengan adanya UU.No.7 1974 diubah menjadi pasal 303 bis KUHP.
Dalam pasal 2 ayat (1) UU. No.7 1974 hanya mengubah ancaman
hukuman pasal 303 ayat (1) KUHP dari 8 bulan penjara atau denda
setinggi-tingginya 90.000 rupiah menjadi hukuman penjara selama-lamanya 10
tahun atau denda sebanyak-banyaknya 25 juta rupiah. Di dalam pasal 303 ayat
(1)-1 Bis KUHP dan pasal 303 ayat (1)-2 Bis KUHP memperberat ancaman hukuman
bagi mereka yang mempergunakan kesempatan, serta turut serta main judi,
diperberat menjadi 4 tahun penjara atau denda setinggi-tingginya 10 juta rupiah
dan ayat (2)-nya penjatuhan hukuman bagi mereka yang pernah dihukum penjara
berjudi selama-lamanya 6 tahun atau denda setinggi-tingginya 15 juta rupiah.
Memang ironisnya sekalipun secara eksplisit hukum menegaskan bahwa
segala bentuk “judi” telah dilarang dengan tegas dalam undang-undang, namun
segala bentuk praktik perjudian menjadi diperbolehkan jika ada “izin” dari
pemerintah.Perlu diketahui masyarakat bahwa Permainan Judi ( hazardspel )
mengandung unsur ; a) adanya pengharapan untuk menang, b) bersifat
untung-untungan saja, c) ada insentif berupa hadiah bagi yang menang, dan d)
pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran,
kecerdasan dan ketangkasan.
Dan secara hukum orang dapat dihukum dalam perjudian, ialah : 1)
Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) yang mengadakan atau memberi kesempatan
main judi sebagai mata pencahariannya, dan juga bagi mereka yang turut campur
dalam perjudian (sebagai bagian penyelenggara judi) atau juga sebagai pemain
judi. Dan mengenai tempat tidak perlu ditempat umum, walaupun tersembunyi,
tertutup tetap dapat dihukum ; 2) Orang atau Badan Hukum (Perusahaan) sengaja
mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum, disini tidak
perlu atau tidak disyaratkan sebagai mata pencaharian, asal ditempat umum yang
dapat dikunjungi orang banyak/umum dapat dihukum, kecuali ada izin dari
pemerintah judi tersebut tidak dapat dihukum ; 3) Orang yang mata pencahariannya
dari judi dapat dihukum ; 4) orang yang hanya ikut pada permainan judi yang
bukan sebagai mata pencaharian juga tetap dapat dihukum. (vide, pasal 303 bis
KUHP).
Kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah, tepatnya dalam pasal 1
PPRI No.9 tahun 1981 yang isi pokoknya melarang memberikan izin terhadap segala
bentuk perjudian, baik dalam bentuk judi yang diselenggarakan di “kasino”. di
“keramaian” maupun dikaitkan dengan alasan lain, yang jika dikaitkan lagi
dengan isi pasal 2 dari PPRI No.9 tahun 1981 yang intinya menghapuskan semua
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan PPRI No.9 tahun 1981 ini,
khususnya yang memberikan izin terhadap segala bentuk perjudian, maka ini dapat
berarti pasal 303 ayat (1) dan/atau pasal 303 bis KUHP tidak berlaku lagi.
Agaknya pengaturan tentang “judi” terdapat pengaturan yang saling
bertentangan, disatu pihak UU No.7 tahun 1974 Jo. pasal 303 KUHP yang mengatur
tentang “judi” bisa diberi izin oleh yang berwenang, disisi lain bertentangan
dengan aturan pelaksanaannya, yaitu PPRI No.9 tahun 1981, yang melarang “judi”
(memberi izin) perjudian dengan segala bentuknya. Memang secara azas theory
hukum, PPRI No.9 tahun 1981 tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, karena
bertentangan dengan peraturan yang di atasnya.
Atas dasar ini Kepolisian hanya dapat menindak perjudian yang
tidak memiliki izin, walaupun judi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
seluruh agama yang dianut. Guna menghindari adanya tindakan anarkisme dari
kalangan ormas keagamaan terhadap maraknya praktik perjuadian yang ada, maka
sudah seharusnya Pemerintah bersama DPR tanggap dan segera membuat perangkat
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang “larangan praktik perjudian”
yang lebih tegas, khususnya larangan pemberian izin judi di tempat umum atau di
kota-kota dan di tempat-tempat pemukiman penduduk, agar negara kita sebagai
negara yang berdasarkan Pancasila dimana masyarakatnya yang religius tetap
terjaga imagenya.