
Haruskah Surat Wasiat Dibuat di Hadapan Notaris?
Pada dasarnya, segala harta
peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya
menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan
yang sah. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 874 KUH
Perdata.
Ketika tante Anda ingin melakukan hibah wasiat yaitu menetapkan
harta warisannya (dalam hal ini rumah) untuk diberikan kepada ahli waris
tertentu, maka harus dibuat surat wasiat.
Testamen atau surat wasiat
adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.
Lebih jauh J. Satrio dalam
bukunya Hukum
Waris (hal. 181) menerangkan bahwa ditinjau dari bentuknya
atau secara formil, suatu testamen merupakan
suatu akta yang memenuhi syarat undang-undang. Ditinjau dari isinya atau
secara materiel testamen merupakan suatu pernyataan kehendak, yang baru
mempunyai akibat/berlaku sesudah si pembuat testamen meninggal dunia,
pernyataan mana pada waktu si pembuat masih hidup dapat ditarik kembali secara
sepihak.
Merujuk ketentuan dalam Pasal 931 KUH Perdata, surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta
olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta
rahasia atau akta tertutup. Berikut penjelasannya:
a.
Wasiat olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri
kemudian dititipkan kepada notaris untuk disimpan;
b.
Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris dan dua orang saksi;
c.
Surat wasiat rahasia atau tertutup pada saat penyerahannya, pewaris harus
menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya
ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat
penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan
sampul, harus tertutup dan disegel dan diserahkan kepada notaris, di hadapan 4
orang saksi untuk dibuat akta penjelasan mengenai hal itu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka surat wasiat dapat
ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris atau dengan kata lain dibuat
dengan akta di bawah tangan, kemudian surat itu dititipkan kepada notaris untuk
disimpan.
Dalam Hubungan Wasiat dengan Surat Wasiat
diterangkan pula bahwa
terdapat keadaan-keadaan tertentu yang membolehkan pewaris membuat wasiat
dengan surat di bawah tangan, sepanjang surat tersebut ditulis, diberi tanggal
dan ditandatangani oleh pewaris dan oleh orang yang dihadapannya wasiat itu
dibuat dan oleh minimal 1 orang saksi. Hal ini sebagaimana diterangkan di
dalam Pasal 946 – 949 KUH Perdata sebagai berikut:
a.
Dalam keadaan perang
Para tentara anggota angkatan bersenjata lain, yang berada di
medan perang atau di tempat yang diduduki musuh boleh membuat surat wasiat di
hadapan seorang perwira minimal berpangkat letnan, atau jika tidak ada perwira
di hadapan orang yang di tempat itu menduduki jabatan militer tertinggi, di
samping 2 orang saksi.
b.
Orang-orang yang sedang
berlayar di laut
Boleh membuat surat wasiat di hadapan nahkoda atau mualim kapal,
atau jika mereka tidak ada, di hadapan orang yang menggantikan jabatan mereka
dengan dihadiri 2 orang saksi.
c.
Mereka
yang berada di tempat-tempat yang dilarang berhubungan dengan dunia luar
Karena berjangkitnya penyakit pes atau penyakit menular lain,
boleh membuat surat wasiat di hadapan setiap pegawai negeri atau 2 orang saksi.
Wewenang yang sama juga diberikan kepada mereka yang jiwanya terancam akibat
sakit mendadak atau mendapat kecelakaan, pemberontakan, gempa bumi, atau
bencana alam lainnya, tetapi dengan syarat tertentu.
Namun demikian, sebagaimana pertanyaan Anda, surat wasiat yang
telah ditulis kemudian tidak dititipkan kepada notaris, melainkan dititipkan
kepada kemenakan. Sehingga menurut hemat kami, surat wasiat yang dibuat secara
tertulis itu tetaplah sah sepanjang para ahli waris menerima wasiat tersebut.
Jika diragukan keabsahannya, maka ahli waris dapat mengajukan gugatan
terhadapnya.
Cara
Membuat Surat Wasiat yang Sah
Sebagai informasi, bagi orang yang beragama Islam, ketentuan
mengenai wasiat diatur dalam KHI, namun tidak
mensyaratkan pembuatan wasiat harus tertulis.
Pasal
195 ayat (1) KHI mengatur bahwa bahwa
wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di
hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris.
Selain itu, menurut Pasal 196 KHI dalam
wasiat yang dibuat secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas
dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima
harta benda yang diwasiatkan.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 885 KUH Perdata bahwa
bila kata-kata sebuah surat wasiat telah jelas, maka surat itu tidak boleh
ditafsirkan dengan menyimpang dari kata-kata itu.
Dengan demikian, baik wasiat menurut KUH Perdata maupun menurut
KHI, harus memenuhi syarat formil pembentukannya. Ketika surat wasiat itu
dibuat tidak memenuhi syarat formil, maka surat wasiat tersebut
tidak sah atau bisa batal.
Dengan batalnya surat wasiat, maka pembagian waris akan
mengikuti sistem yang dianut, apakah sistem hukum Islam, waris perdata atau
waris adat.