
Siapa Yang Berwenang Mencabut Undang-Undang?
SIAPA YANG BERWENANG MENCABUT
UNDANG-UNDANG?
Aditya Wahyu Saputro
Pencabutan Undang-Undang
Undang-undang
dapat dicabut karena dua sebab, yaitu karena dicabut sendiri oleh suatu
undang-undang atau karena putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”). Kewenangan pembentukan
undang-undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) bersama dengan Presiden.
Dalam hal-hal tertentu seperti otonomi daerah, Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
ikut dalam proses pembahasan undang-undang, tetapi tidak memberikan
persetujuan. DPR dan Presiden masing-masing berhak mengajukan, membahas,
mengubah, menyetujui, dan/atau menolak suatu rancangan undang-undang. DPR dan
Presiden merupakan pembentuk undang-undang (law
making power). Pada dasarnya kewenangan membentuk undang-undang secara
otomatis juga melekat kewenangan mencabut undang-undang yang dibentuknya itu.
Setiap undang-undang mempunyai norma hukum yang bersifat terus menerus (dauerhaftig). Maksudnya, selama belum
diubah, dicabut, atau diganti, norma atau ketentuan di dalam undang-undang akan
terus berlaku.
Pencabutan
adalah proses untuk menjadikan suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal
ini undang-undang, tidak memiliki daya laku dan daya guna lagi sehingga tidak
lagi mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Oleh karenanya, pencabutan harus
dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setara atau lebih tinggi.
Dalam konteks pencabutan undang-undang harus dicabut dengan undang-undang juga.
Dengan demikian, DPR bersama Presiden merupakan lembaga negara yang berwenang
mencabut undang-undang.
Apa
akibat hukum jika undang-undang dicabut? Undang-undang yang dicabut itu tidak
lagi mempunyai daya laku dan daya guna alias tidak berlaku lagi. Dengan kata
lain, pencabutan mengakhiri keberlakuan (validity)
dari suatu undang-undang dan menjadikannya tidak berlaku.
‘Pembatalan’ Undang-Undang oleh MK
Selanjutnya,
putusan MK dapat menyatakan suatu undang-undang ‘dicabut’ atau ‘dibatalkan’.
Namun pencabutan ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan kepada DPR
bersama Presiden melalui pembentukan undang-undang.
Menurut
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD
1945 guna menilai kesesuaiannya dengan UUD 1945. Jika MK memutuskan
undang-undang telah bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang secara
keseluruhan atau bagian tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Dalam
situasi tersebut, undang-undang atau bagian undang-undang yang bersangkutan
hanya memiliki daya laku saja tetapi tidak memiliki daya guna. Masih memiliki
daya laku karena belum dicabut oleh undang-undang. Tidak memiliki daya guna
karena undang-undang itu tidak boleh dipatuhi karena dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 (inkonstitusional).
Pencabutan
terhadap ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional tidak wajib dilakukan, tetapi
mungkin saja terdapat perubahan (penyesuaian) terhadapnya. Misalnya dalam
Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 menyatakan
bahwa UU 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Dalam putusan juga dinyatakan untuk memberlakukan kembali UU 11/1974
(hal. 146).
Setelah
itu, diterbitkan UU 17/2019 yang tidak menyatakan pencabutan UU 7/2004,
melainkan mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 11/1974.[5] Dengan demikian,
pembatalan atau pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atas suatu
undang-undang berdasarkan putusan MK tidak wajib dan tidak selalu diikuti
dengan pencabutan dengan undang-undang.
Jadi,
dapat dipahami bahwa kewenangan pencabutan undang-undang ada pada kewenangan
pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden. Lain halnya dalam kegentingan
yang memaksa, menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden dapat mencabut
undang-undang melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”).
Sehingga, suatu Perppu dapat saja mencabut undang-undang.