
Kritik Pemerintah dengan Mural, Bisakah Dipidana?
Kritik
Pemerintah dengan Mural, Bisakah Dipidana?
Oleh: Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.
Mural menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai lukisan pada dinding. Sementara itu, Ryan Sheehan
Nababan dalam artikelnya Karya Mural Sebagai Medium Mengkritisi
Perkembangan Jaman (Studi Kasus Seni Mural Karya Young
Surakarta) menyebutkan, mural merupakan salah satu bentuk seni rupa,
atau lebih tepatnya seni lukis, yang biasanya menggunakan dinding atau
tembok sebagai medianya, atau dapat juga menggunakan media besar dan datar
lainnya seperti, langit-langit, papan besi, maupun kain, baik eksterior maupun
interior (hal. 1). Seni mural digunakan sebagai media penyampaian kritik
tentang permasalahan dalam realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat
(hal. 1-3)
Dan Presiden bukan
merupakan lambang negara. Perlu diketahui bahwa lambang Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika. Berkaitan dengan lambang negara ini, setiap orang dilarang:
1. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara
dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara
2. menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk,
warna, dan perbandingan ukuran
3. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan,
organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara
Sehingga tidak
benar bahwa lambang negara adalah presiden, melainkan lambang negara yang
sebenarnya adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sedangkan presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar dan dibantu oleh satu orang wakil presiden dalam melakukan
kewajibannya.
Kritik
Pemerintah dengan Mural, Bisakah Dipidana?
Sebagaimana telah
diterangkan sebelumnya, mural bisa dibuat dengan berbagai tujuan, salah satunya
untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Pada dasarnya, setiap warga
negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Penyampaian
pendapat di muka umum dapat dilakukan secara lisan, tulisan, dan sebagainya.
Secara tulisan antara lain dalam bentuk petisi, gambar, pamflet, poster,
brosur, selebaran, dan spanduk.
Namun, warga negara
yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk:
1. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain
2. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum
3. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum
5. menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa
Mural yang
merupakan seni lukis yang biasanya menggunakan media dinding atau tembok, maka
pembuatan mural ini berpotensi melanggar ketentuan peraturan daerah
masing-masing terkait ketertiban umum.
Contohnya,
dalam Pasal 19 Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat (Perda
Pasuruan 2/2017) ditegaskan:
Setiap orang dilarang:
1.
mencoret-coret,
menulis, melukis/menggambar, memasang/menempel iklan/reklame di
dinding/tembok, jembatan lintas, jembatan penyeberangan orang, halte, tiang
listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya
2. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan
tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan
3.
membuang air besar dan kecil di
jalan, jalur hijau, taman, sungai, saluran air tempat lainnya yang bukan
peruntukannya
Bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 19 di
atas, dikenai ancaman pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda maksimal
Rp50 juta.
Setiap orang yang
melihat, mengetahui dan menemukan terjadinya pelanggaran terhadap ketertiban
umum dapat melaporkan kepada petugas yang berwenang. Yang melaporkan tersebut
berhak mendapat perlindungan hukum. Kemudian, petugas akan menindaklanjuti dan
memproses secara hukum terhadap laporan yang disampaikan.
Jadi, yang
menjadi masalah di sini bukanlah substansi mural berupa kritik yang disampaikan
terhadap pemerintah/presiden, melainkan perbuatan melukis di dinding atau
tembok yang merupakan sarana umum, terlepas dari apapun gambar yang dilukis,
termasuk gambar presiden sekalipun. Sehingga, dalam hal ini perlu diperhatikan
peraturan daerah yang mengatur mengenai ketertiban umum.
Sedangkan, apabila
gambar presiden pada mural bertujuan untuk menghinanya, maka
berlaku Pasal 207 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
Barang siapa dengan sengaja
di muka umum dengan lisan atau tulisanmenghina suatupenguasa atau badan
umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Terkait pasal
ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 164) menjelaskan
bahwa pasal ini menjamin alat-alat kekuasaan negara supaya tetap dihormati.
Tiap-tiap penghinaan terhadap alat-alat tersebut dihukum menurut pasal ini.
Menurut Soesilo,
menghina dengan lisan atau tulisan sama dengan menyerang nama baik
dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Agar penghinaan tersebut dapat
dihukum, harus dilakukan dengan sengaja dan di muka umum. Jika dilakukan
dengan tulisan, misalnya dengan surat kabar, majalah, pamflet dan lain-lain
harus dibaca oleh khalayak ramai.
Adapun berkaitan
dengan jumlah denda maksimal, Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP melipatgandakan pidana denda dalam
Pasal 207 KUHP menjadi Rp4,5 juta.
Namun, patut
diperhatikan bahwa dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006, diuraikan bahwa terkait Pasal 207
KUHP, dalam hal penghinaan ditujukan kepada presiden dan/atau wakil presiden
selaku pejabat, menurut pertimbangan MK, penuntutan terhadapnya seharusnya
dilakukan atas dasar pengaduan (hal. 60).
Jadi, dalam hal
mural itu memiliki tujuan untuk menghina presiden sebagaimana dimaksud Pasal
207 KUHP, penuntutan pidana dapat dilakukan namun atas dasar adanya pengaduan
dari presiden itu sendiri.