Larangan Perdagangan Organ, Jaringan Tubuh, dan Darah Manusia
Larangan Perdagangan
Organ, Jaringan Tubuh, dan Darah Manusia
Oleh: Karisna Mega
Pasha, S.H.
Dasar Hukum Larangan
Perdagangan Organ Tubuh
Pada dasarnya, perdagangan organ
tubuh manusia adalah kejahatan yang melibatkan eksploitasi manusia untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi. Tindakan tersebut tidak hanya ilegal karena
banyak yang menggunakan cara melawan hukum untuk mendapatkan organ tubuh,
tetapi juga berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Lalu, secara yuridis, perdagangan
organ merupakan hal yang dilarang berdasarkan Pasal 124 ayat (3) UU Kesehatan
sebagai berikut:
Organ dan/atau
jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang dikomersialkan atau diperjualbelikan dengan alasan apa pun.
Pasal 124 ayat (1) UU Kesehatan
mengatur bahwa transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dilakukan untuk
tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan hanya untuk tujuan
kemanusiaan.
Adapun yang dimaksud dengan
"dikomersialkan" adalah komersialisasi dalam pelaksanaan
transplantasi organ tubuh manusia atau jaringan tubuh manusia, tidak termasuk
proses pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan transplantasi pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
Berdasarkan aturan tersebut,
setiap orang yang mengomersialkan
atas pelaksanaan transplantasi organ atau jaringan tubuh, dapat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana denda paling banyak Rp500 juta.
Sedangkan orang yang
memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan alasan apa pun, dapat
dipidana penjara paling lama 7 tahun
atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Selain diatur dalam UU Kesehatan,
ketentuan lain yang berkaitan dengan larangan jual beli organ atau jaringan
tubuh manusia juga terdapat dalam UU TPPO. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 7 UU TPPO yang menegaskan tindakan tersebut sebagai salah satu
bentuk eksploitasi:
Eksploitasi
adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh
pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Sepanjang penelusuran kami,
adanya larangan jual beli organ atau jaringan tubuh manusia karena tindakan
tersebut berorientasi untuk kepentingan ekonomi dan berpotensi melanggar hak
asasi manusia, karena dilakukan dengan melawan hukum. Ketentuan larangan serupa
tidak hanya berlaku di Indonesia, karena sejatinya pada tahun 1987 pun World
Health Organization (WHO) sudah melarang adanya tindak perdagangan organ
manusia.
Larangan Jual Beli Darah Manusia
Sama halnya dengan organ dan jaringan
tubuh, darah juga tidak boleh diperjualbelikan. Hal ini diatur dalam Pasal 114 ayat (1) UU Kesehatan sebagai
berikut:
Pelayanan
darah merupakan Upaya Kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan
dasar dengan tujuan kemanusiaan, penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan,
serta tidak untuk tujuan komersial.
Lebih lanjut, Pasal 119 UU Kesehatan juga menegaskan bahwa darah manusia
dilarang diperjualbelikan dengan alasan apa pun. Apabila dilanggar, pelaku
diancam pidana penjara paling lama 3
tahun atau pidana denda paling banyak Rp200 juta.
Tindak Pidana Jual Beli Organ, Jaringan Tubuh, dan Darah Manusia dalam
KUHP Baru
Sebagai informasi, larangan jual
beli organ, jaringan tubuh, dan darah manusia tidak diatur dalam KUHP lama yang
masih berlaku saat artikel ini diterbitkan. Namun, rumusan ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 345 jo. Pasal 79 ayat
(1) huruf d dan f UU 1/2023 tentang KUHP baru yang akan berlaku 3 tahun
sejak diundangkan,[7] yaitu 2026 sebagai berikut:
Setiap Orang yang dengan alasan
apa pun memperjualbelikan:
1. organ
atau jaringan tubuh manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, yaitu Rp2 miliar
2. darah
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.
Selanjutnya, menurut Pasal 346 ayat (1) UU 1/2023, setiap
orang yang melakukan komersialisasi dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh
manusia atau jaringan tubuh manusia atau transfusi darah manusia, dipidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu
Rp500 juta.
Biaya Pemrosesan Darah dalam Donor Darah
Mengutip artikel Donor Darah Itu
Gratis, Kenapa yang Butuh Darah Harus Bayar? dari laman Palang Merah Indonesia
(PMI) Jepara, pengurus pusat PMI menjelaskan bahwa semua darah yang diperoleh
dari PMI memang gratis, tetapi untuk mendapatkannya ada biaya yang harus
dikeluarkan sebagai biaya pemrosesan darah (BPD). Hal ini karena darah tidak
bisa disalurkan dari pendonor kepada penerima secara langsung, melainkan harus
melalui serangkaian pemrosesan.
Sebagai contoh, Pasal 114 ayat
(2) UU Kesehatan mengatur bahwa darah diperoleh dari donor darah sukarela yang
sehat, memenuhi kriteria seleksi sebagai donor, dan atas persetujuan donor.
Kemudian, darah yang diperoleh dari donor darah harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk menjaga mutu dan keamanan darah, sebagaimana diatur dalam
Pasal 114 ayat (3) UU Kesehatan.
Masih bersumber dari artikel yang
sama, biaya yang dibayarkan juga termasuk biaya pemeliharaan dan pengelolaan
darah, perekrutan donor, pengadaan kantung, bahan pakai medis dan non-medis,
pemeriksaan hemoglobin, uji penyakit dan uji cocok serasi, biaya alat serta
pemeliharaan dan penunjang lainnya.
Oleh karena itu, ketika Anda
membayarkan sejumlah uang untuk mendapatkan darah manusia, biaya yang
dikeluarkan bukan untuk membayar darah, atau dalam arti lain hal tersebut bukan
jual beli darah. Darah yang diperoleh dari PMI memang gratis, tetapi ada biaya
pemrosesan darah yang harus Anda tanggung untuk menjaga mutu dan keamanan
darah.