
Main Hakim Sendiri sebuah Mega Trend
Salah satu cara untuk
memperjuangkan “hak” bagi setiap warga negara sebagai penyandang hak dan
kewajiban adalah berjuang melalui jalur hukum. Begitu juga dengan “keadilan”
yang secara theoritis merupakan cita-cita hukum.
Hukum adalah rule of the game
bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tentunya agar
masyarakat menghormati hukum tidak dapat tidak hukum itu harus berwibawa agar
dapat dipatuhi oleh semua subyek hukum. Namun dalam kenyataannya masyarakat
cenderung tidak patuh pada hukum karena wibawa hukum “tidak ada”.
Wibawa hukum sebagian besar
terletak pada konsistensi para Penegak Hukum itu sendiri yang memang dirasakan
kurang berwibawa. Seperti orang bijak berkata : “sebaik-baik hukum yang dibuat
dan diberlakukan disuatu negara jika Penegak Hukumnya brengsek maka sama dengan
brengseknya hukum itu sendiri”. Nah, kalau “hukum” tidak lagi memperikan
kepastian bagi seseorang untuk memperoleh haknya, dan/atau kalau “hukum” tidak
lagi dapat dipercaya sebagai cara terhormat untuk memperoleh keadilan, maka
dapat dipastikan masyarakat akan cenderung menggunakan cara yang kedua yaitu
dengan menggunakan “kekerasan” yang nota bine dengan cara main hakim sendiri (
eigen rechting ).
Sebagai illustrasi kasus dapat
kita segarkan kembali ingatan kita pada peristiwa hukum main hakim sendiri,
antara lain : Perististiwa Pembunuhan dukun santet di Jawa-Timur, lebih kurang
200 orang dieksekusi mati tanpa proses hukum ; Komplik di Sambas dan Poso di
Sulawesi ; Kerusuhan di Maluku ; Kekerasan di NAD ; Pengrusakan beberapa toko,
kios dan rumah oleh mereka yang diketahui berpakaian ninja di DIY ; dan yang
paling pahit untuk dikenang adalah perkelahian antara sesama anggota DPR RI
pada pembukaan sidang tahunan 2001 pada tanggal 01 Nopember 2001 yang langsung
disaksikan oleh ratusan juta rakyat Indonesia melalui layar kaca.
Banyak lagi peristiswa senada
yang tidak bisa kita paparkan satu demi satu. Intinya adalah budaya main hakim
sendiri agaknya telah menjadi megatrend dalam masyarakat kita. Dan ini belum
termasuk bagi mereka yang menghakimi harta kekayaan negara (para koruptor) yang
merupakan sisi gelap lainnya yang menjadi budaya pula di negara kita.
Dan juga belum termasuk bagi
oknum para Penegak Hukum yang memperlakukan Tersangka dengan telah
menghakiminya terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada Hakim beneran ; Main
hakin sendiri mempunyai konotasi bahwa siapa yang kuat dia yang menang, jadi
lebih mengarah pada substansi pengertian hukum rimba.
Bila suatu negara dalam kehidupan
masyarakatnya lebih dominan berlaku hukum rimba ketimbang hukum normatif yang
legal formal maka masyarakat tersebut akan cenderung tunduk kepada
kelompok-kelompok atau perorangan yang mempunyai kekuatan phisik, seperti
kelompok tertentu yang mempunyai basis massa yang kuat atau kelompok-kelompok
premanisme.
Dimana setiap persoalan yang
muncul dalam masyarakat akan cenderung diselesaikan dengan cara-cara yang
berbau kekuatan phisik. Agaknya main hakim sendiri atau penyelesaian masalah
melalui kekuatan phisik sudah menjadi megatrend dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, baik dalam kehidupan sosial-politik yang lebih mengandalkan
“kekuatan phisik” atau berorientasi pada basis massa yang kuat dalam mencapai
tujuan-tujuan politiknya ketimbang menjual program-program partai atau
kelompoknya. Sedang dalam kehidupan sosial ekonomi ditandai dengan banyaknya
muncul debt kolektor dan/atau menggunakan kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai
kekuatan phisik yang ditakuti ketimbang menyelesaikan masalah ekonominya
melalui negosiasi dan hukum.
Semua penomena tersebut
menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung menyiapkan kekuatan phisik
sebagai langkah antisipasi dalam menyelesaikan setiap masalahnya ketimbang
menggunakan jalur hukum yang mereka nilai tidak efektif.
Budaya main hakim sendiri pada
perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan
sasaran psikologis maupun phisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi,
pembunuhan karakter dan lain sebagainya.
Maka dalam membangun masarakat
madani yang sadar dan patuh pada hukum Pemerintah harus secepatnya membangun
moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari para Penegak Hukum dengan
mensosialisasikan hakikat perlunya hukum dipatuhi oleh masyarakat dibarengi
dengan menindak secara tegas setiap anggota / kelompok masyarakat yang
melakukan cara main hakin sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum
yang mereka hadapi. Memang hal itu tidaklah mudah karena budaya main hakim
sendiri masih sering terjadi dikalangan Penegak Hukum itu sendiri.
Inilah suatu problema dilematis
kronis yang sedang kita hadapi. Yang pasti jangan biarkan kita mempertanyakan
masalah penegakan hukum di Indonesia ini kepada rumput yang bergoyang.
Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis,
SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia