![](https://jdih.sukoharjokab.go.id/images/berita/8180b98f3fe479c2bceaad03ef658f2b.jpg)
Perbuatan Yang Termasuk Delik Penistaan Agama
PERBUATAN YANG TERMASUK
DELIK PENISTAAN AGAMA
Renata Christha Auli
Penghinaan, yang juga biasa disebut dengan penodaan
atau penistaan terhadap agama adalah tindakan dengan maksud menjelekkan,
menghina, mengotori, memperlakukan tidak dengan hormat sebagaimana mestinya
terhadap suatu agama, tokoh-tokoh agama, simbolnya, ajarannya, ritusnya,
ibadatnya, rumah ibadahnya, dan sebagainya dari suatu agama yang diakui secara
sah di Indonesia.
Penodaan agama juga dapat diartikan sebagai suatu
tindakan yang merendahkan, menghina, melecehkan, menyebutkan atau melakukan
suatu ajaran agama tertentu yang tidak sesuai dengan ajaran agama tersebut.
Salah satu bentuk delik penodaan agama adalah penghinaan terhadap Tuhan
(blasphemy atau godslastering) dalam bentuk melukai, merusak, mencemarkan
reputasi/ nama baik Tuhan.
Sebagai contoh, berikut adalah beberapa perbuatan
yang termasuk penistaan agama:
1.
Penistaan
agama secara verbal, misalnya mengolok-olok, menyindir, menuduh, mengejek,
menghina, dan candaan yang tidak pantas terhadap agama tertentu.
2.
Penistaan
agama secara non-verbal, yaitu penistaaan agama yang dilakukan tidak
menggunakan ucapan baik lisan maupun tulisan. Jenis penistaan ini menggunakan
tindakan, perilaku, atau pandangan, contohnya membakar kitab suci terang-terangan,
memasukan kitab suci ke dalam kloset, dan perbuatan penistaan lainnya. Selain
itu penistaan jenis ini dapat dilakukan dengan body language atau bahasa tubuh
yang bertujuan mencela atau mencemooh ajaran atau simbol agama tertentu.
Adapun, agama yang diakui berdasarkan Penjelasan
Pasal 1 Penpres 1/1965 atau lazim disebut dengan UU 1/PNPS/1965 sebagaimana
dikuatkan dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu (Confucius).
Namun demikian, lebih lanjut dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 bahwa tidak berarti bahwa agama-agama lain,
misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Penganut
agama-agama lain tersebut mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh
Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Delik Penistaan Agama
dalam UU 1/PNPS/1965
Menjawab pertanyaan Anda mengenai menghina agama
kena pasal berapa? Perlu diketahui bahwa aturan penghinaan atau penistaan agama
di Indonesia masih mengacu pada Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 yang berbunyi sebagai
berikut:
Setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diberi
perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam
suatu keputusan bersama menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam
negeri.
Jika pelanggaran Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 dilakukan
oleh organisasi atau aliran kepercayaan, maka presiden dapat membubarkan
organisasi itu dan menyatakan organisasi/aliran kepercayaan tersebut sebagai
organisasi/aliran terlarang, setelah mendapat pertimbangan dari menteri agama,
menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan oleh 3
menteri atau oleh presiden, organisasi/aliran kepercayaan masih terus melanggar
ketentuan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965, maka orang, penganut, anggota dan/atau
anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.
Delik Penistaan Agama
dalam KUHP
Selanjutnya dari ketentuan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965,
lahirlah penambahan pasal pada Pasal 156a KUHP yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia;
1.
dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Hingga
saat ini, penghinaan terhadap agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 156a
KUHP di atas. Tidak hanya itu, KUHP juga mengatur pasal-pasal yang masih
berkaitan tentang delik terhadap kehidupan beragama sebagaimana diatur dalam
Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, dan Pasal 503 KUHP.
Sementara itu, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru
yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[6] yaitu tahun 2026, terdapat
beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku penistaan agama, salah satunya diatur
dalam Pasal 304 UU 1/2023 sebagaimana berikut:
Setiap orang yang di
muka umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau
memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling
banyak kategori III.
Sebagai informasi, pidana denda paling banyak
kategori III adalah maksimal Rp50 juta.
Selain itu delik-delik yang berhubungan dengan
kehidupan beragama juga diatur dalam Pasal 302, Pasal 303, dan Pasal 305 UU
1/2023.
Delik Penistaan Agama
dalam UU ITE 2024
Selain dalam KUHP, delik penghinaan terhadap agama
juga diatur dalam UU 1/2024 sebagai perubahan kedua UU ITE. Berdasarkan
pertanyaan Anda, kami kurang memiliki informasi mengenai bagaimana bentuk
penistaan agama yang dilakukan oleh pendeta maupun influencer TikTok tersebut.
Namun, kami asumsikan perbuatannya berkaitan dengan menyebarkan kebencian
terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (“SARA”) melalui media elektronik.
Pada dasarnya, perbuatan tersebut dilarang dalam
Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau
memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras,
kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas
mental, atau disabilitas fisik.
Kemudian, orang yang melanggar Pasal 28 ayat (2) UU
1/2024 berpotensi dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024.
Penjelasan selengkapnya mengenai Pasal 28 ayat (2)
UU 1/2024 dapat Anda baca pada artikel Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 yang
Menjerat Penyebar Kebencian SARA.
Lebih lanjut, perlu diperhatikan dalam Lampiran SKB
UU ITE yang menerangkan perihal Pasal 28 ayat (2) UU ITEsebelum diubah dengan
Pasal 28 ayat (2)UU 1/2024, bahwa perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat
(2) UU ITE motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar
SARA. Aparat penegak hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai
dengan adanya konten mengajak, mempengaruhi, menggerakkan masyarakat,
menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau
permusuhan (hal. 17 – 19).
Adapun penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju
atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan
yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan
ajakan, mempengaruhi, dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan isu sentimen
perbedaan SARA (hal. 19).