Perbuatan Yang Termasuk Delik Penistaan Agama

PERBUATAN YANG TERMASUK DELIK PENISTAAN AGAMA

Renata Christha Auli

 

Penghinaan, yang juga biasa disebut dengan penodaan atau penistaan terhadap agama adalah tindakan dengan maksud menjelekkan, menghina, mengotori, memperlakukan tidak dengan hormat sebagaimana mestinya terhadap suatu agama, tokoh-tokoh agama, simbolnya, ajarannya, ritusnya, ibadatnya, rumah ibadahnya, dan sebagainya dari suatu agama yang diakui secara sah di Indonesia.

Penodaan agama juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang merendahkan, menghina, melecehkan, menyebutkan atau melakukan suatu ajaran agama tertentu yang tidak sesuai dengan ajaran agama tersebut. Salah satu bentuk delik penodaan agama adalah penghinaan terhadap Tuhan (blasphemy atau godslastering) dalam bentuk melukai, merusak, mencemarkan reputasi/ nama baik Tuhan.

Sebagai contoh, berikut adalah beberapa perbuatan yang termasuk penistaan agama:

1.      Penistaan agama secara verbal, misalnya mengolok-olok, menyindir, menuduh, mengejek, menghina, dan candaan yang tidak pantas terhadap agama tertentu.

2.      Penistaan agama secara non-verbal, yaitu penistaaan agama yang dilakukan tidak menggunakan ucapan baik lisan maupun tulisan. Jenis penistaan ini menggunakan tindakan, perilaku, atau pandangan, contohnya membakar kitab suci terang-terangan, memasukan kitab suci ke dalam kloset, dan perbuatan penistaan lainnya. Selain itu penistaan jenis ini dapat dilakukan dengan body language atau bahasa tubuh yang bertujuan mencela atau mencemooh ajaran atau simbol agama tertentu.

Adapun, agama yang diakui berdasarkan Penjelasan Pasal 1 Penpres 1/1965 atau lazim disebut dengan UU 1/PNPS/1965 sebagaimana dikuatkan dalam Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu (Confucius).

Namun demikian, lebih lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 bahwa tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama lain tersebut mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

 

Delik Penistaan Agama dalam UU 1/PNPS/1965

Menjawab pertanyaan Anda mengenai menghina agama kena pasal berapa? Perlu diketahui bahwa aturan penghinaan atau penistaan agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri.

Jika pelanggaran Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 dilakukan oleh organisasi atau aliran kepercayaan, maka presiden dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi/aliran kepercayaan tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, setelah mendapat pertimbangan dari menteri agama, menteri/jaksa agung, dan menteri dalam negeri.

Namun, apabila telah dilakukan tindakan oleh 3 menteri atau oleh presiden, organisasi/aliran kepercayaan masih terus melanggar ketentuan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

 

Delik Penistaan Agama dalam KUHP

Selanjutnya dari ketentuan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965, lahirlah penambahan pasal pada Pasal 156a KUHP yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

1.      dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.      Hingga saat ini, penghinaan terhadap agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 156a KUHP di atas. Tidak hanya itu, KUHP juga mengatur pasal-pasal yang masih berkaitan tentang delik terhadap kehidupan beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, dan Pasal 503 KUHP.

Sementara itu, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[6] yaitu tahun 2026, terdapat beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku penistaan agama, salah satunya diatur dalam Pasal 304 UU 1/2023 sebagaimana berikut:

Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Sebagai informasi, pidana denda paling banyak kategori III adalah maksimal Rp50 juta.

Selain itu delik-delik yang berhubungan dengan kehidupan beragama juga diatur dalam Pasal 302, Pasal 303, dan Pasal 305 UU 1/2023.

 

Delik Penistaan Agama dalam UU ITE 2024

Selain dalam KUHP, delik penghinaan terhadap agama juga diatur dalam UU 1/2024 sebagai perubahan kedua UU ITE. Berdasarkan pertanyaan Anda, kami kurang memiliki informasi mengenai bagaimana bentuk penistaan agama yang dilakukan oleh pendeta maupun influencer TikTok tersebut. Namun, kami asumsikan perbuatannya berkaitan dengan menyebarkan kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (“SARA”) melalui media elektronik.

Pada dasarnya, perbuatan tersebut dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

Kemudian, orang yang melanggar Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024.

Penjelasan selengkapnya mengenai Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 dapat Anda baca pada artikel Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2024 yang Menjerat Penyebar Kebencian SARA.

Lebih lanjut, perlu diperhatikan dalam Lampiran SKB UU ITE yang menerangkan perihal Pasal 28 ayat (2) UU ITEsebelum diubah dengan Pasal 28 ayat (2)UU 1/2024, bahwa perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Aparat penegak hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten mengajak, mempengaruhi, menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan (hal. 17 – 19).

Adapun penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, mempengaruhi, dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan isu sentimen perbedaan SARA (hal. 19).

Meta Data

Tipe Dokumen : Artikel Hukum
Judul : Perbuatan Yang Termasuk Delik Penistaan Agama
Tempat Terbit : Sukoharjo
Tahun : 2025
Bahasa : Indonesia
Sumber : -
Lokasi : JDIH Kabupaten Sukoharjo
TEU Orang/Badan : -
Subjek : -
File Dokumen : -

Berita Terbaru