Akibat Hukum Perjanjian yang Dibuat Dengan Iktikad Buruk
Oleh: Erni Agustin
Prinsip iktikad baik (good faith) adalah salah satu prinsip umum dalam hukum kontrak yang
tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang.Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Subekti menjelaskan iktikad baik pada saat pembuatan
perjanjian berarti kejujuran orang yang beriktikad baik menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan
sesuatu yang buruk yang di kemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.
Adapun, menurut J. Satrio dalam artikel Pelaksanaan
Suatu Perjanjian: Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik, asas iktikad baik
mau mengatakan bahwa kreditur pada waktu melaksanakan hak-haknya dan debitur
pada waktu memenuhi kewajibannya (yang timbul dari perjanjian), harus bertindak
(bersikap) dengan mengindahkan (memperhatikan) tuntutan kepantasan dan
kepatutan.
Lebih lanjut, J. Satrio menjelaskan bahwa para pihak
dalam perjanjian harus melaksanakan perjanjian sebagaimana yang dituntut dalam
pergaulan hidup terhadap orang-orang yang baik dan lumrah, tanpa ada pemerasan,
tanpa menghalang-halangi lawa janjinya dalam berprestasi, tanpa menyulitkan dan
menyebabkan timbulnya ongkos yang tidak perlu pada lawan janjinya.
Dalam perkembangannya, prinsip iktikad baik tidak
hanya diterapkan pada tahap pelaksanaan perjanjian, melainkan juga dalam
seluruh fase atau tahapan kontrak sebagai suatu proses yaitu mulai tahap
prakontraktual (negosiasi/perundingan), tahap kontraktual (pembentukan/formation of contract), hingga tahap
pascakontraktual (pelaksanaan perjanjian).
Iktikad Buruk pada
Tahap Prakontrak
Pada tahap prakontrak, pada dasarnya perjanjian
belum lahir sehingga para pihak belum terikat perjanjian. Oleh karena itu, jika
terdapat iktikad buruk pada tahap prakontrak, maka tidak dapat dinyatakan
adanya wanprestasi.
Namun, apabila terdapat iktikad buruk yang membawa
kerugian pada tahap prakontrak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan
upaya pemulihan hak yang didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata tentang
perbuatan melanggar hukum; tentunya apabila unsur-unsur perbuatan melanggar
hukum terpenuhi. Pihak yang dirugikan juga harus dapat membuktikan bahwa
kerugian yang timbul adalah akibat dari adanya perbuatan dari pihak lawan
tersebut.
Iktikad Buruk pada
Tahap Kontraktual
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat empat
syarat sahnya suatu perjanjian, yakni kesepakatan, kecakapan, suatu hal
tertentu, dan sebab (causa) yang
diperbolehkan.
Disarikan dari artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, syarat
kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat suatu
hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan merupakan syarat objektif. Pada tahap
pembentukan perjanjian, syarat-syarat tersebut haruslah dipenuhi.
Lebih lanjut, akibat hukum jika syarat subjektif
tidak terpenuhi adalah perjanjian dapat dibatalkan. Sementara, jika perjanjian
tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian batal demi hukum.
Dengan terpenuhinya syarat perjanjian, maka
perjanjian mengikat para pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH
Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Apabila terdapat iktikad buruk pada tahap
pembentukan perjanjian, misalnya penipuan (bedrog),
paksaan (dwang), atau kekhilafan (dwaling), atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam
kesepakatan yang dibuat, maka perjanjian yang dimaksud akan menjadi dapat
dibatalkan (voidable/vernietigbaar).
Upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan
pembatalan perjanjian karena tidak dipenuhinya syarat subjektif perjanjian.
Dengan pembatalan perjanjian, maka kedua belah pihak akan dibawa kembali pada
keadaan sebelum perjanjian dibuat.
Iktikad Buruk pada
Tahap Pelaksanaan Kontrak
Pihak yang beriktikad buruk pada tahap pelaksanaan
kontrak dapat diartikan pihak tersebut melakukan wanprestasi.
Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti yaitu:
1. tidak
memenuhi sama sekali prestasi yang telah diperjanjikan;
2. memenuhi
tetapi tidak sebagaimana mestinya;
3. memenuhi
tapi terlambat atau tidak sesuai dengan jangka waktu yang disepakati; dan
4. melakukan
hak yang dilarang dalam perjanjian.
Akibat wanprestasi yang dilakukan, maka sebagaimana
diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat memilih untuk memaksa
debitur memenuhi perjanjian jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut
pemutusan perjanjian, dengan disertai penggantian biaya, rugi, dan bunga.