Definisi dan Syarat Sah Perjanjian
Ricardo Simanjuntak dalam
bukunya Teknik
Perancangan Kontrak Bisnis Menyatakan bahwa
kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu
kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para
pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari
masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.
Saat ini, dasar hukum perjanjian diatur dalam KUH Perdata. Adapun ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur
asas kebebasan berkontrak yang berbunyi:
Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pasal tersebut
menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian,
apapun isinya dan bagaimanapun bentuknya. Dengan kata lain, semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang dan bagi mereka yang
membuatnya.
Pada intinya, kontrak adalah suatu perjanjian
antara dua orang atau lebih yang melahirkan suatu kewajiban, baik untuk berbuat
maupun tidak berbuat sesuatu.
Penjelasan lebih
lanjut tentang asas-asas utama dalam kontrak perdata dapat Anda simak dalam Asas-Asas yang Berlaku dalam Hukum Kontrak.
Syarat Sah Perjanjian
Meskipun
demikian, asas kebebasan berkontrak bukan berarti bebas tanpa batas (mutlak).
Setiap pihak yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian.
Adapun
syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata yang menjadi dasar
hukum perjanjian saat ini adalah:
1.
Kesepakatan
para pihak
Kesepakatan
berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal
pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus
mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana
kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini
artinya adalah bebas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Secara a contrario, berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata,
perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya
unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
2.
Kecakapan para
pihak
Menurut Pasal 1329 KUH Perdata,
pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan
tidak cakap menurut undang-undang.
3.
Mengenai suatu
hal tertentu
Hal
tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua
belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
ditentukan jenisnya dan merupakan barang-barang yang dapat diperdagangkan.
4.
Sebab yang
halal
Sebab
yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang
akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.
Macam-Macam Perjanjian
Perjanjian
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan
perjanjian non-obligatoir.
Perjanjian
obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan
atau membayar sesuatu.
Lebih lanjut, terdapat 4 macam-macam
perjanjian obligatoir:
1.
Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi kepada satu pihak.
Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi
antara kedua belah pihak.
2.
Perjanjian
cuma-cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian
cuma-cuma adalah perjanjian di mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan
kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Sementara
perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak
memberikan prestasi.
3.
Perjanjian
konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil
Perjanjian
konsensuil, yaitu perjanjian yang mengikat sejak detik tercapainya kata sepakat
dari kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak
hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan objek
perjanjian atau bendanya. Adapun perjanjian formil adalah perjanjian yang
terikat dengan formalitas tertentu, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
4.
Perjanjian
bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran
Perjanjian
bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam undang-undang.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di
dalam undang-undang. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang
merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama.
Sedangkan
perjanjian non-obligatoir merupakan perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang
untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Macam-macam perjanjian
non-obligatoir ini terbagi atas:
1.
Zakelijk
overeenkomst, yaitu perjanjian yang menetapkan
dipidindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
2.
Bevifs
overeenkomst, yaitu perjanjian untuk membuktikan
sesuatu.
3.
Liberatoir
overeenkomst, yaitu perjanjian ketika seseorang
membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
4.
Vaststelling
overenkomst, yaitu perjanjian untuk mengakhiri
perselisihan yang ada di muka pengadilan.
Penggunaan Bahasa dalam Perjanjian
Berangkat
dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh
melanggar undang-undang.
Selanjutnya,
menjawab pertanyaan Anda, Pasal
31 UU 24/2009 menyatakan
secara gamblang bahwa:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik
Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
Melalui
ketentuan ini jelas bahwa untuk kontrak yang para pihaknya adalah warga negara
Indonesia wajib untuk menggunakan bahasa Indonesia. Penting untuk diketahui
bahwa tidak dipenuhinya ketentuan Pasal
31 ayat (1) UU 24/2009 ini bisa
menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut batal demi hukum perjanjian
yang tidak menggunakan bahasa Indonesia tersebut. Alasannya, kontrak tidak
memenuhi unsur ‘sebab atau kausa yang halal’ sebagaimana disyaratkan Pasal 1320 jo.
Pasal 1337 KUH Perdata.