
Katakan Tidak Pada Suap Politik
Praktik jual beli
suara dulu dan sekarang
Praktik jual beli suara sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada 1955. Salah satu partai tertua Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan oleh Presiden Soekarno, membagikan uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal agar bisa memenangi pemilu. Pada saat masa Orde Baru, membeli suara pemilih dianggap bukan strategi populer karena partai politik pada saat itu melihat tidak ada untungnya melakukan praktik ini dengan sistem pemilu yang selalu memenangkan partai pemerintah, yaitu Golkar. Meskipun demikian, Golkar beberapa kali dilaporkan membagikan uang untuk memobilisasi dukungan massa. Praktik jual beli suara hampir tidak terdengar pada Pemilu 1999 ketika Indonesia baru berubah menjadi negara demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Saat itu, kompetisi terjadi antarpartai, bukan antarkandidat, yang menurut saya berperan penting dalam mendorong maraknya praktik jual beli suara ini.
Melawan semua norma
dan hukum
Di kebanyakan negara, termasuk
Indonesia, praktik jual beli suara dianggap ilegal dan tabu oleh masyarakat.
Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan menganggap praktik ini sebagai
sebuah bentuk kejahatan. Hukuman maksimal bagi para pelaku adalah denda sebesar
Rp 48 juta dan empat tahun penjara.
Orang yang menerima suap untuk
memilih calon tertentu juga mendapat label negatif dari masyarakat karena
dianggap tidak dapat melaksanakan mandat demokrasi yang telah diberikan.
Menyadari bahwa praktik jual beli suara bukanlah praktik lazim di kalangan
masyarakat, akan sulit untuk menanyakan topik ini kepada responden
karena kemungkinan besar mereka akan berbohong karena takut dihukum dan juga
diasingkan secara sosial.
Survei eksperimen yang diharapkan
dapat mendorong pemilih untuk memberikan jawaban yang lebih jujur. Menggunakan
seperangkat pertanyaan terselubung dan tidak langsung yang tidak akan mengintimidasi
responden agar mereka bisa berkata jujur, berdasarkan metode yang dilakukan di
Nikaragua dan Libanon yang dibuat untuk mengantisipasi ketika responden
berbohong mengenai fakta bahwa mereka disuap.
Ternyata hasil riset menunjukkan bahwa asumsi di atas salah. Baik menggunakan survei biasa maupun survei eksperimen, keduanya menunjukkan bahwa pemilih Indonesia secara terbuka mengakui bahwa mereka menerima suap untuk memilih kandidat tertentu. Hal ini menandakan bahwa praktik jual beli suara di Indonesia tidaklah setabu seperti yang diperkirakan sebelumnya. Pada masa kampanye Pemilu 2014, bagaimana istilah semacam NPWP dan golput menjadi begitu populer di kalangan para pemilih. NPWP yang biasanya merupakan singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak dipelesetkan menjadi Nomer Piro, Wani Piro, yang diambil dari bahasa Jawa yang berarti menanyakan kepada kandidat, mereka berani bayar berapa agar pemilih memilih mereka. Sementara itu, golput yang biasanya merujuk pada pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya, saat itu dipelesetkan menjadi "golongan penerima uang tunai".
Dampak kecil, jumlah
banyak
Meskipun praktik jual beli suara
banyak ditemukan di Indonesia, dampaknya pada hasil pemilu tergolong rendah.
Penelitian saya menunjukkan bahwa praktik jual beli suara ini hanya memengaruhi
sekitar 11 persen dari total hasil suara.
Namun, jika praktik jual beli
suara terbukti tidak efektif, mengapa masih banyak ditemui? Dalam studi ini, bahwa rata-rata margin kemenangan yang
membedakan seorang kandidat yang lolos dengan yang tidak hanya 1,65 persen.
Jadi, jika praktik jual beli suara ternyata bisa memengaruhi hingga 11 persen,
tidak heran jika banyak kandidat politik masih menggunakan strategi ini karena
praktik ini mungkin saja memberi mereka kemenangan.
Penulis:
Burhanuddin Muhtadi
Editor:
Laksono Hari Wiwoho