Anak di Luar Kawin, Bagaimana Status Hukumnya?
Status anak di luar kawin menimbulkan akibat-akibat hukum positif dan akibat-akibat hukum negatif.
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan ada dua pengertian anak yang sah. Pertama, anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Kedua, anak hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Anak-anak yang lahir di luar sebagaimana ketentuan Pasal 99 KHI, dianggap sebagai anak di luar kawin. Di dalam hukum Islam dan KUHPerdata, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya.
Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lebih lanjut menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibu.
Sedangkan di dalam Hukum Islam, seorang anak akan dianggap sebagai anak yang sah apabila anak tersebut lahir dalam waktu enam bulan atau 180 hari dihitung dari akad nikah kedua orang tuanya.
Anak yang lahir di luar ketentuan 180 hari dianggap sebagai anak luar kawin. Anak luar kawin nasabnya dipertalikan kepada ibunya dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya.
Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad pernikahan yang sah. Status nasab ini kemudian menimbulkan hubungan hak dan kewajiban. Baik kewajiban orang tua terhadap anak maupun kewajiban anak terhadap orang tua.
Status anak di luar kawin menimbulkan akibat-akibat hukum positif dan akibat-akibat hukum negatif. Anak di luar kawin bisa mendapatkan hak seperti anak-anak sah perkawinan dengan memenuhi beberapa syarat. Salah satunya adalah anak harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 284 KUHPerdata, dengan pengakuan, maka status anak di luar kawin dapat diubah menjadi anak luar kawin yang diakui. Hal tersebut harus melalui pengakuan oleh ayah biologis yang hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah orang asing tanpa sepengetahuan ibu menyatakan diri sebagai bapak biologis atau orang asing dengan sengaja mengakui yang tidak benar untuk memperoleh keuntungan.
Menurut sistem hukum Burgerlijk Wetboek, asasnya adalah hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris yang mempunyai hak waris, dengan mendapat waris, berarti status anak luar kawin telah berubah menjadi anak luar kawin yang diakui.
Namun sebelum melakukan pengakuan, terlebih dahulu melihat Pasal 284 KUHPerdata, karena tidak semua pengakuan dapat merubah status anak luar kawin menjadi anak luar kawin yang diakui, pengakuan tersebut harus dilakukan sesuai dengan cara pengakuan yang telah ditentukan.
Hukum Islam tidak mengenal adanya pengakuan, status anak luar kawin atau anak zina tidak bisa diubah menjadi anak luar kawin yang diakui seperti dalam KUHPerdata. Anak luar kawin hanya bisa menuntut nafkah hidup serta biaya pendidikan.
Menentukan status anak menurut hukum Islam dapat ditelusuri dari asal usul anak tersebut. Pedoman untuk menentukan sah atau tidak sahnya anak adalah jarak waktu perkawinan orang tua dengan waktu kelahiran anak tersebut, sehingga dapat diketahui status hukumnya. Batasan yang digunakan untuk menentukan status anak ini adalah dari akad nikah kedua orang tua.
Perkembangan hukum menjawab status hukum anak di luar kawin, selama ini anak di luar kawin hanya diakui dengan ibu yang melahirkannya serta keluarga ibu yang melahirkannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, dan telah dikeluarkan putusan terhadap hal ini yang menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 menegaskan:
1. Pasal 43 ayat(1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No.1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Hal ini bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata memiliki hubungan darah sebagai ayahnya.
2. Pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No.1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Hal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayah biologis.”
Putusan MK tersebut dengan jelas menyebutkan anak diluar nikah memiliki hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayah biologisnya.
Oleh: