Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai HAM


Pada dasarnya, hak beragama merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau dikenal dengan istilah non-derrogable rights. Dengan demikian, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dasar hukum yang menjamin kebebasan memeluk agama di Indonesia diatur pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Selanjutnya, kebebasan memeluk kepercayaan tercantum dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yaitu:

Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Kebebasan beragama dan menganut kepercayaan juga diatur dalam Pasal 22 UU HAM yang berbunyi:

  1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
  2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Lebih lanjut, pada tahun 1966, Majelis Umum PBB mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Sebagai negara hukum yang menjunjung penegakan dan penghormatan HAM, Indonesia sudah mengambil langkah dengan meratifikasi ICCPR melalui UU 12/2005. Berkaitan dengan kebebasan beragama dan menganut kepercayaan, Pasal 18 ICCPR mengatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan pilihannya.

Akan tetapi, meskipun kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara dan termasuk sebagai hak asasi, ini bukan berarti tanpa pembatasan, karena setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, HAM tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

Lukman Hakim Saifuddin dan Patrialis Akbar, selaku mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, sebagaimana dikutip dari Ketentuan HAM dalam UUD Dikunci oleh Pasal 28J, menjelaskan kronologi dimasukkannya 10 pasal baru yang mengatur tentang HAM dalam amandemen kedua UUD 1945, termasuk di antaranya pasal-pasal yang kami sebutkan di atas. Patrialis Akbar berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I UUD 1945 telah dibatasi atau “dikunci” oleh Pasal 28J UUD 1945.

Pembatasan pelaksanaan HAM juga dibenarkan oleh Maria Farida, pakar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Maria Farida menyatakan bahwa HAM bisa dibatasi, sepanjang hal itu diatur dalam undang-undang. Pendapat Maria Farida selengkapnya dapat Anda simak dalam Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM.

Siapa yang Berwenang Menyatakan Suatu Aliran Kepercayaan Sesat?

Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, pada dasarnya Pasal 1 Penetapan Presiden 1/1965 menyebutkan:

Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.

Bagi yang melanggar ketentuan di atas, akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu dalam Suatu Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Lalu, siapa yang berwenang menyimpulkan aliran kepercayaan tertentu itu sesat atau terlarang? Kewenangan ini ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.

Pada praktiknya, ada juga Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (“Bakor Pakem”) yang melakukan pengawasan. Sebenarnya, Bakor Pakem tersebut adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan dan Aliran Keagamaan (“Tim Pakem”) yang merupakan tim gabungan yang melakukan koordinasi pengawasan aliran kepercayaan dan aliran keagamaan dalam masyarakat.

Kemudian, dalam praktiknya, berikut adalah tugas dari Tim Pakem:

  1. menerima dan menganalisa laporan dan/atau informasi tentang aliran kepercayaan masyarakat atau aliran keagamaan;
  2. meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu aliran kepercayaan atau aliran keagamaan untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi ketertiban dan ketentraman umum; dan
  3. mengajukan laporan dan saran sesuai dengan jenjang wewenang dan tanggung jawab.

Tim Pakem terdiri atas:

  1. Tim Pakem Pusat, yang bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.
  2. Tim Pakem Provinsi, yang bertanggung jawab kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
  3. Tim Pakem Kabupaten, yang bertanggung jawab kepada Kepala Kejaksaan Negeri.

Keberadaan Agama di Indonesia

Menjawab pertanyaan Anda yang ketiga, dalam Penjelasan Pasal 1 Penetapan Presiden 1/1965 disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).

Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar 6 (enam) agama di Indonesia mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Karena pada dasarnya, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara.

Lantas, sebagaimana yang Anda tanyakan, apakah ilegal untuk tidak menganut agama di Indonesia? Dalam kata lain, apakah ilegal untuk tidak mengakui keberadaan Tuhan di Indonesia? Guna memperjelas pemahaman Anda, sebaiknya kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan ateisme. Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani yakni atheos, dan istilah ini selalu digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama. Ateisme secara umum merupakan pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi.

Kemudian, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia, salah satunya Pancasila. Karena Pancasila diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion. Freedom of religion tercermin dalam Sila Pertama Pancasila yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa, yang bermakna kewajiban setiap manusia di Indonesia menghormati agama dan kepercayaan orang lain, karena merupakan hak setiap orang untuk memilih, memeluk, dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara bebas tanpa mengalami gangguan dan juga tanpa mengganggu pihak lain.

Tetapi, kebebasan beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada tempat bagi ateisme. Hal ini sangat berbeda misalnya dengan Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun negatif.

 

Meta Data

Tipe Dokumen : Artikel Hukum
Judul : Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai HAM
T.E.U. Orang/Badan : -
Tempat Terbit : -
Tahun Terbit : -
Sumber : -
Subjek : -
Bahasa : -
Bidang Hukum :
Lokasi : -
Lampiran : -

Berita Terbaru