Pelecehan Seksual Di Media Sosial
PELECEHAN SEKSUAL DI
MEDIA SOSIAL
Oleh: Nafiatul
Munawaroh
Pelecehan seksual di media sosial bukanlah hal baru.
Komnas Perempuan menerangkan bahwa pelecehan seksual merupakan satu dari lima
belas bentuk kekerasan seksual.
Lebih lanjut, Komnas Perempuan mengartikan pelecehan
seksual adalah tindakan seksual fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ
seksual atau seksualitas korban. Ini termasuk halnya siulan, main mata, ucapan
bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan
atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat bersifat seksual sehingga
mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan, dan mungkin
menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
Dalam tulisan Perilaku Menyimpang: Media Sosial sebagai
Ruang Baru dalam Tindakan Pelecehan Seksual Remaja, Rosyidah dan Nurdin
menerangkan bahwa media sosial kini menjadi wadah untuk menyampaikan hasrat
seksual.
Kemudian, Rosyidah dan Nurdin menerangkan bahwa
pelecehan di media sosial ini tidak jauh berbeda dengan siulan, kata-kata, atau
sentuhan di dunia nyata. Adapun contoh kasus pelecehan seksual di media sosial
bisa berupa rayuan atau godaan yang tidak menyenangkan. Bentuk penyampaiannya
bisa melalui chat, direct message, dan komentar.
Pasal Pelecehan di
Media Sosial
Tindakan memberikan komentar pada postingan orang
lain di media sosial yang bermuatan pelecehan seksual termasuk ke dalam
kategori kekerasan seksual, berupa pelecehan seksual nonfisik. Tindakan ini
dapat dipidana berdasarkan Pasal 5 UU TPKS tentang pelecehan seksual nonfisik
yang berbunyi:
"Setiap
orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap
tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan
harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya,
dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9
bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta."
Adapun yang dimaksud dengan ‘perbuatan seksual
secara nonfisik’ adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak
patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau
mempermalukan.
Lebih lanjut, pasal tentang pelecehan di media
sosial juga termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual berbasis
elektronik. Hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual berbasis elektronik
diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 ayat (1) UU TPKS, bahwa setiap orang yang
tanpa hak:
a.
melakukan
perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual
di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau
gambar atau tangkapan layar;
b.
mentransmisikan
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar
kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau
c.
melakukan
penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang
yang menjadi objek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.
Sebagai informasi, kekerasan seksual berbasis
elektronik merupakan delik aduan, kecuali jika korban adalah anak dan
penyandang disabilitas.
Kemudian berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU TPKS,
selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut undang-undang,
hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan
seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih. Terhadap
ketentuan tersebut, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan
hak asuh anak atau pencabutan pengampunan, pengumuman identitas pelaku,
dan/atau perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana kekerasan seksual.
Ketentuan Konten Media
Sosial
Selain ketentuan dalam UU TPKS, komentar sebagaimana
yang Anda maksud juga dilarang oleh UU ITE dan perubahannya.
Hal tersebut termasuk dalam perbuatan yang dilarang
dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 sebagai berikut.
Pasal
27 ayat (1) UU ITE
Setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal
1 angka 1 UU 19/2016
Informasi elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Dari ketentuan di atas, yang dimaksud dengan
“membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan
mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.
Terhadap pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE
tersebut, pelaku berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, pelecehan
di media sosial yang berupa komentar tidak senonoh dapat dikategorikan sebagai
muatan informasi elektronik yang mengandung pelanggaran kesusilaan. Pelecehan
di media sosial tersebut juga memenuhi unsur dapat diakses orang lain, karena
tercantum pada kolom komentar media sosial.
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas,
pelaku yang memberikan komentar bermuatan pelecehan di media sosial dapat
dijerat pidana berdasarkan UU TPKS. Selain itu, karena komentar tersebut
dilakukan di media sosial yang menjadi ranah pengaturan UU ITE, maka pelaku
dapat pula dijerat dengan UU ITE dan perubahannya.
Cara Melaporkan
Pelecehan Seksual di Media Sosial
Jika Anda atau orang terdekat Anda mengalami
pelecehan di media sosial, berikut langkah-langkah yang bisa ditempuh.
1.
Melaporkan ke Platform Media Sosial
Misalnya untuk Instagram, Anda dapat melaporkannya
di Laporkan Pelecehan atau Penindasan di Instagram. Jangan lupa sertakan foto,
video, dan bukti komentar di Instagram yang melecehkan secara detail, untuk
membantu Instagram meninjau hal tersebut.
Setelah Anda melaporkannya, pertimbangkan untuk
memblokir akun tersebut. Selengkapnya dapat Anda pelajari di Penyalahgunaan dan
Spam.
2.
Melaporkan ke Kepolisian
Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk tindak
pidana yang menjadi kompetensi kepolisian untuk menyelidiki dan menyidiknya.
Anda dapat melaporkan kejadian pelecehan seksual baik secara online maupun
offline ke kepolisian. Langkah lebih detail dapat Anda baca dalam Mau
Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Sebagai informasi, berdasarkan UU TPKS, dalam waktu
paling lambat 1 x 24 jam terhitung sejak menerima laporan tindak pidana
kekerasan seksual, kepolisian dapat memberikan perlindungan sementara kepada
korban untuk waktu maksimal 14 hari, seperti membatasi gerak pelaku baik yang
bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu
maupun pembatasan hak tertentu dari pelaku.
3.
Mencari Pendampingan
Menjadi korban pelecehan seksual tentu berat dan
tidak mudah. Tidak jarang korban enggan untuk melaporkan kejadian yang ia alami
karena adanya perasaan takut dan trauma. Untuk itu, korban pelecehan seksual
dapat mencari pendampingan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan, antara lain Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”), Unit
Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (“UPTD PPA”), tenaga
kesehatan, psikolog, psikiater, advokat dan paralegal, dan sebagainya.
4.
Menghubungi Call Center SAPA 129
Anda juga dapat melaporkan tindakan kekerasan
terhadap perempuan dan anak melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan
Anak (SAPA) 129 yang dapat diakses melalui hotline 021-129 atau WhatsApp
08111-129-129. SAPA 129 memiliki 6 jenis layanan yaitu layanan pengaduan
masyarakat, pelayanan penjangkauan korban, pelayanan pengelolaan kasus,
pelayanan akses penampungan sementara, pelayanan mediasi, dan pelayanan
pendampingan korban.