
Pemilu Berkualitas dan Demokrasi Indonesia
Pemilu
Berkualitas dan Demokrasi Indonesia
PENYELENGGARAAN
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 memasuki babak penting setelah diumumkannya secara
resmi partai-partai yang lolos menjadi peserta pemilu. Rangkaian proses panjang
bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk sampai pada keputusan bahwa ada 17 parpol
yang lolos sebagai peserta pemilu, yang diumumkan pada Rabu (14/12).
Mulai
awal 2023, seluruh partai peserta pemilu sudah pasti akan intens dan masif
melakukan komunikasi persuasif ke basis-basis konstituen, baik melalui sarana offline dengan
perjumpaan langsung dengan warga maupun lewat sarana online melalui media
sosial dan juga kanal-kanal komunikasi warga lainnya.
Politik
elektoral akan semakin gegap gempita sehingga, sejak dini, kita harus
meluruskan cara pandang tentang bagaimana seluruh pihak yang berkepentingan
dengan Pemilu 2024 tetap menjaga kualitas pemilu kita agar konsolidasi
demokrasi kita terjaga dan tetap menuju arah yang tepat.
Komitmen partai politik
Satu
hal yang sangat penting terhubung dengan pemilu berkualitas ialah komitmen
partai politik untuk turut menghadirkan kualitas kompetisi yang berkualitas
dalam konteks keadaban demokrasi. Fragmentasi kekuatan politik dalam perebutan
kuasa politik kerap melahirkan ragam fenomena sosial yang tidak seluruhnya
berkorelasi positif dengan penguatan demokrasi kita. Terlebih, partai-partai
tak hanya berkepentingan dengan penguasaaan teritorial di daerah-daerah
pemilihan, tapi juga berkeinginan mendinamisasi situasi terhubung dengan
pemenangan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
Ada
17 parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2024. Di antara 17
parpol yang lolos tersebut, 9 partai parlemen dan 8 partai nonparlemen.
Sementara itu, terdapat satu parpol yang tidak lolos sebagai peserta Pemilu
2024, yakni Partai Ummat. Hal ini diatur dalam Pasal 133 dan Pasal 135 PKPU
Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai
Politik Peserta Pemilu. KPU bertugas melakukan rekapitulasi di tingkat
nasional, dan dilakukan pada rapat pleno yang dihadiri parpol tingkat pusat dan
Bawaslu.
Ada
18 partai politik yang dinyatakan lolos tahap verifikasi administrasi pada 14
September 2022. Sembilan partai politik merupakan partai parlemen, yang merujuk
pada UU Pemilu dan Putusan MK Nomor 55 Tahun 2020 tidak perlu lagi diverifikasi
faktual untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu. Sembilan partai politik
lainnya diverifikasi faktual syarat keanggotaan, kepengurusan, dan alamatnya
pada 15 Oktober-4 November 2022. Sembilan partai politik nonparlemen itu ialah
PSI, Perindo, PKN, Gelora, PBB, Hanura, Ummat, Buruh, dan Garuda. Hasil
verifikasi faktual kepengurusan dan keanggotaan partai politik diumumkan pada
14 Desember 2022. Hanya ada satu partai yang akhirnya tidak lolos, yakni Partai
Ummat.
KPU
juga menetapkan, 17 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh
menjadi peserta Pemilu 2024. Keputusan ini dituangkan dalam Surat Keputusan
(SK) KPU Nomor 518 Tahun 2022. Dengan begitu, sejak pengumuman tersebut, resmi
sudah kontestan pemilu dengan nomor urut yang sudah ditetapkan akan bersaing
memperebutkan suara pemilih di Pemilu 2024.
Tentu,
membutuhkan komitmen tinggi untuk berkompetisi dengan cara-cara yang dibenarkan
berdasarkan aturan main yang telah ditetapkan di UU Pemilu No 7 Tahun 2017,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 Tahun 2022, maupun
aturan turunannya baik di Peraturan KPU (KPU) maupun Bawaslu. Lebih substantif
lagi, seluruh kontestan bisa meraba suasana kebatinan di masyarakat bahwa yang
dibutuhkan dari regularitas penyelenggaraan pemilu itu ialah perbaikan nasib
bangsa dan negara ini ke depan, yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat.
Bukan semata menjadi ‘hajatan’ elite yang bisa dinikmati dari, oleh, dan untuk
elite semata.
Jangan
sampai, muncul gap yang menganga antara keinginan elite baik caleg, calon senator
DPD, maupun calon presiden/wakil presiden dengan harapan masyarakat, yang bisa
menimbulkan disonansi kognitif yang makin mendalam dan meluas. Menurut Leon
Festinger dalam salah satu buku lawasnya, A Theory of Cognitive Dissonance (1957),
disonansi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antarelemen
kognisi. Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang dipercayai tentang
dirinya sendiri, dan lingkungannya merupakan bagian dari elemen-elemen pokok
kognisi.
Dalam
konteks pemilu, jika masyarakat memahami pemilu sebagai mekanisme demokrasi
yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik,
sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan di antara para elite
partai politik, maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di
tingkatan pemilih.
Ini
merupakan keadaan psikologis yang tidak meyenangkan yang timbul saat dalam diri
pemilih terjadi konflik di antara dua kognisi, yakni antara pengetahuan
mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik
dalam pemilu dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan pemilu itu
sendiri. Inilah yang oleh para ahli teori disonansi kognitif seperti Festinger
disebut sebagai inskonsistensi logis. Disonansi kognitif yang tak teratasi
dengan baik bisa menyebabkan pemilih apatis, bahkan apolitis di kemudian hari.
Pemilu
seyogianya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, tetapi
harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk pemilih rasional (rasional voter)
yang memiliki daya tawar.
Komitmen
parpol sebagai peserta pemilu bisa diterjemahkan lebih operasional ke dalam
beberapa hal. Pertama, taat dan patuh kepada aturan main yang telah ditetapkan.
Kedua, memilih calon-calon yang berkualitas baik untuk caleg maupun
capres/cawapres.
Ketiga,
berkomitmen untuk menguatkan peran fungsional mereka dalam kerja-kerja nyata
yang bisa menguatkan warga. Keempat, secara sadar dan penuh tanggung jawab
tidak menjadi bagian dari masalah dengan menghalalkan segala cara untuk menang
dengan menabrak aturan main. Misalnya, melakukan kampanye hitam, menyebarkan
hoaks, ujaran kebencian, doxing, perundungan, persekusi, perilaku
membeli suara (vote
buying), bertransaksi ilegal dengan para penyelenggara, dan
lain-lain.
Norma dasar pemilu
Pemilu
merupakan mekanisme demokrasi yang dinamis, seiring dengan konteks waktu,
aktor, dan situasi kondisi yang melatarbelakanginya. Dinamika politik yang
menggambarkan relasi kuasa ragam kekuatan menyebabkan proses pemilu memerlukan
telaah, catatan, dan rekomendasi-rekomendasi penguatan. Salah satu yang harus
mendapatkan catatan tentu saja penguatan asas-asas penyelenggaraan pemilu.
Mengutip
AA GN Dwipayana dalam bukunya, Memperkuat Demokrasi Elektoral: Isu-isu Kritis
dalam Perubahan UU Pemilu (2010), ada sejumlah norma dasar penyelenggaraan
pemilu. Pertama, pemilu adalah wadah aktualisasi kewarganegaraan (citizenship),
terutama penyelenggaraan hak-hak politik warga negara. Kualitas pemilu diukur
dari penghormatan dan perlindungan terhadap kebebasan warga negara dalam menggunakan
hak-hak politik. Termasuk, tidak adanya intimidasi, diskriminasi, serta untuk
memperoleh informasi alternatif.
Kedua,
seberapa tinggi tingkat kompetisi (competitiveness) kontestasi dimungkinkan.
Kualitas pemilu sangat ditentukan oleh sejauh mana persaingan berjalan secara
kompetitif, kontestan dapat bersaing secara fair untuk mendapatkan dukungan
dari warga pemilih, sekaligus mereka memperoleh informasi setara tentang
kontestan.
Ketiga,
derajat keterwakilan (representativeness)
yang dihasilkan oleh proses pemilu. Esensi pemilu adalah metode untuk memilih
perwakilan warga yang representatif. Kualitas pemilu diukur oleh tingkat
keterwakilan yang dihasilkan oleh sebuah pemilu. Semakin tinggi tingkat
keterwakilan politik warga maka pemilu semakin berkualitas. Sebaliknya, derajat
keterwakilan yang rendah menunjukkan kegagalan sistem ini.
Pemilu
yang berkualitas dan demokratis akan sangat dipengaruhi tiga faktor, yaitu electoral law, electoral process,
dan electoral
management. Perpaduan tiga pilar tersebut secara resultan
menghasilkan electoral
outcame. Eletoral
law menyangkut pilihan sistem pemilu yang digunakan warga
negara dalam memilih para wakilnya. Sistem pemilu memiliki konsekuensi terhadap
derajat keterwakilan atas hasil-hasil pemilu, sistem kepartaian (khususnya
jumlah partai politik), akuntabilitas pemerintahan, dan kohesi partai-partai
politik.
Dinamika
perseteruan, antara representasi politik dan efektivitas pemerintahan tersebut,
dapat dilihat dalam undang-undang politik yang digunakan dalam setiap pemilu.
Landasan hukum sebagai penataan untuk electoral law, electoral process,
dan electoral
management, sekaligus kesatuan rangkaian penataan sistem
pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pemilu, dan sistem kepartaian, terus
mengalami perubahan seakan tiada ujung.
Terkait
regulasi Pemilu 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terbaru. Aturan itu termuat dalam
Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Paling tidak, ada beberapa hal baru di
perppu tersebut.
Pertama,
berhubungan dengan jumlah anggota DPR RI. Dalam Pasal 186 Perppu No 1 Tahun
2022 tercantum bahwa ada tambahan anggota DPR menjadi 580. Kedua, anggota DPD
RI juga akan bertambah. Hal itu terjadi karena bertambahnya jumlah provinsi di
Indonesia dari 34 menjadi 38. Ketiga, mengatur terkait pengundian nomor urut
parpol peserta Pemilu 2024. Dalam Perppu No 1 Tahun 2022 disebutkan parpol lama
diberikan dua pilihan terkait nomor urut untuk menggunakan nomor urut baru atau
lama. Hal itu sudah dilakukan seusai parpol ditetapkan sebagai peserta pemilu.
Keempat,
Bawaslu baru harus dibentuk di 4 provinsi daerah otonomi baru (DOB), yaitu
Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Perppu
juga membahas pemilu di IKN. Penyelenggaraan pemilu di IKN ternyata masih
berpedoman pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. IKN masuk dalam wilayah
Kalimantan Timur yang diatur dalam Pasal 568A. Sementara itu, dalam bagian
penjelasan ditekankan bahwa Undang-Undang No 3 Tahun 2022 tentang lbu Kota
Negara (IKN), terhitung sejak penetapan pemindahan ibu kota negara dari
Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke IKN dengan keputusan presiden,
wilayah kerja DPRD Provinsi Kalimantan Timur, DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara,
dan DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara tidak meliputi wilayah IKN.
Komitmen
untuk menyelenggarakan pemilu taat regulasi menjadi salah satu yang penting
dalam konteks penguatan kualitas demokrasi elektoral kita. Menurut Andrew
Reynolds (2011), institusi politik membuat aturan main pelaksanaan demokrasi
dan sistem pemilu sering kali dianggap sebagai hal yang paling mudah
dimanipulasi, baik untuk hal-hal baik maupun buruk. Oleh karena itulah,
regulasi harus dioptimalkan untuk hal-hal baik, yakni penguatan kualitas
demokrasi kita.
Bukan
sebaliknya, justru membuat pemilu jalan di tempat atau mundur ke masa lalu
karena adanya langkah manipulatif dari segelintir orang untuk mengambil alih
kuasa rakyat menjadi kuasa elite, dengan cara-cara yang sesungguhnya
bertentangan dengan norma dasar pemilu dan keluhuran keadaban demokrasi itu
sendiri. Jangan lestarikan cara-cara yang merusak, terlebih membuat pemilu
berubah arah menjadi pelembaga konflik sosial yang nonrealistis dan menyebabkan
luka menganga yang teramat sulit disembuhkan!