
Polisi Menolak Laporan Masyarakat, apa yang bisa kita lakukan ?
Lapor Polisi
Apa saja syarat melapor ke polisi? Pada dasarnya, setiap
orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau jadi korban tindak pidana
berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik
baik lisan maupun tertulis, sebagaimana diterangkan dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke
Polisi? Begini Prosedurnya.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan laporan dan pengaduan
yaitu:
a. Laporan
adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
b. Pengaduan
adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang berlaku terhadap
seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.
Selanjutnya, disarikan dari Perbedaan Pelaporan dan
Pengaduan, laporan dapat disampaikan oleh setiap orang terhadap
segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh
orang-orang yang berhak mengajukannya dan terbatas pada tindak pidana yang
mempersyaratkan adanya aduan.
Sehingga, memang pada dasarnya, setiap orang berhak
melaporkan dugaan adanya tindak pidana ke polisi, kecuali pengaduan yang hanya
dapat diajukan oleh orang-orang tertentu saja, yang merupakan delik aduan.
Sebagai tambahan informasi, berapa biaya untuk melapor ke
polisi? Tidak ada biaya yang dipungut oleh polisi kepada masyarakat yang lapor
polisi.
Apakah Laporan ke Polisi Bisa Ditolak?
Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, apakah polisi berhak
menolak laporan masyarakat? Pasal 3 ayat (3) huruf b Perkapolri 6/2019 mengatur:
Pada SPKT/SPK yang menerima
laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk:
a. …
b. Melakukan kajian
awal guna
menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi; dan
c. ...
Setelah dilakukan kajian awal, dibuat tanda penerimaan
laporan dan laporan polisi.
Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
setelah menerima laporan/pengaduan tindak pidana, penyidik/penyidik pembantu
akan melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya laporan/pengaduan
tersebut untuk dibuatkan tanda penerimaan laporan dan laporan polisi.
Sehingga, secara hukum, jika penyidik/penyidik pembantu
berdasarkan hasil kajian awal menilai tidak layak dibuatkan laporan polisi,
maka bisa saja polisi menolak laporan dalam arti laporan polisi tidak dibuat
atas laporan/pengaduan yang diberikan.
Namun demikian, menurut hemat kami, dalam memutuskan tidak
dibuatnya laporan polisi atas laporan/aduan yang disampaikan, penyidik yang
bersangkutan harus memiliki alasan yang sah
menurut hukum, misalnya polisi menolak laporan karena tindak pidana
tersebut merupakan delik aduan, sedangkan yang mengadukannya bukanlah orang
yang berhak menurut hukum.
Hal ini penting, sebab Pasal 12 huruf a dan f Perpolri
7/2022 mengatur:
Setiap Pejabat Polri dalam
Etika Kemasyarakatan, dilarang:
a. menolak
atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau Laporan dan Pengaduan
masyarakat yang
menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya;
f. mempersulit masyarakat yang
membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan;
Selain itu, setiap pejabat Polri dalam etika kelembagaan
dilarang di antaranya melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan/atau standar operasional prosedur meliputi
penegakan hukum antara lain seperti:
a. mengabaikan
kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. merekayasa
dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan
hukum;
c. menghambat
kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara
untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
d. mengurangi,
menambahkan, merusak, menghilangkan dan/atau merekayasa barang bukti.
Terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri
(“KEPP”) yang dilakukan anggota Polri tersebut yakni menolak atau mengabaikan
permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan masyarakat,
dilakukan penegakan KEPP melalui:
a. Pemeriksaan
pendahuluan, yang dilaksanakan oleh akreditor (pejabat Polri pengemban fungsi
profesi dan pengamanan Polri bidang pertanggungjawaban profesi), dengan cara
audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan. Namun tahapan audit
investigasi dapat dilewati jika telah ada minimal 2 alat ukti yang cukup
berdasarkan hasil gelar perkara.
b. Sidang
Komisi Kode Etik Polri (“KKEP”), yang dilaksanakan untuk memeriksa dan memutus
salah satunya perkara pelanggaran KEPP, setelah selesainya pemeriksaan
pendahuluan, yang bisa dilaksanakan dengan acara pemeriksaan cepat (untuk
pelanggaran kategori ringan) atau acara pemeriksaan biasa (untuk pelanggaran
kategori sedang dan berat).
c. Sidang
KKEP Banding, yang diajukan oleh pemohon yang dijatuhi sanksi administratif
kepada pejabat pembentuk KKEP banding melalui sekretariat KKEP secara tertulis
dalam jangka waktu maksimal 3 hari kerja setelah putusan sidang dibacakan KKEP.
d. Sidang
KKEP Peninjauan Kembali, yang dilakukan oleh Kapolri atas putusan KKEP atau
putusan KKEP banding yang telah final dan mengikat apabila dalam putusan
tersebut terdapat suatu kekeliruan dan/atau ditemukan alat bukti yang belum
diperiksa pada saat sidang KKEP sebelumnya. Peninjauan kembali ini dapat dilakukan
maksimal 3 tahun sejak putusan KKEP atau putusan KKEP banding.
Adapun pejabat Polri yang dinyatakan melanggar KEPP
(“pelanggar”) dikenakan sanksi berupa sanksi etika dan/atau
administratif. Sanksi etika terhadap pelanggar dengan kategori ringan mencakup:
a. Perilaku
pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b. Pelanggar
wajib meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan secara tertulis
kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
c. Pelanggar
wajib mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1
bulan.
Sedangkan
sanksi administratif bagi pelanggar dengan kategori sedang dan berat mencakup:
