
Ganja
GANJA
· Raja Eben Lumbanrau
Wacana legalisasi pohon ganja untuk kepentingan medis dan ekspor untuk keuntungan ekonomi mencuat ke permukaan.
Anggota DPR RI dari Dapil 1 Aceh, Rafli, mengusulkan budidaya dan pemanfaatan ganja Aceh sebagai bahan baku kebutuhan medis berkualitas ekspor, saat rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan di Jakarta.
Wacana itu mendapat penolakan dari partai politik, Badan Narkotika Nasional (BNN), polisi, dan LSM anti narkoba.
Terlepas dari pro kontra wacana tersebut, ternyata ganja memiliki sejarah panjang dalam hidup masyarakat Indonesia.
Ganja sudah digunakan untuk kepentingan ritual dan pengobatan sejak zaman kerajaan di Nusantara, sebelum negara Indonesia terbentuk.
· Wacana legalisasi ganja: Dapatkah ganja membantu mengentaskan kemiskinan?
· Kisah remaja Vietnam yang diperbudak di ladang ganja
· Mengapa popularitas minyak ganja meningkat di seluruh dunia?
Tidak ada data pasti kapan dan bagaimana ganja pertama kali masuk ke Nusantara.
Walaupun demikian, terdapat kepingan catatan sejarah tentang ganja yang bisa disusun.
Secara global, dalam jurnal Vegetation History and Archaeobotany, ganja disebut berasal dari dataran tinggi Tibet, tepatnya di Danau Qinghai.
Sementara itu, Kamus Sejarah Indonesia mengatakan ganja berasal dari Laut Kaspia, dan ada di Jawa pada abad ke-10.
Belum ada informasi akurat tentang daerah asal ganja dan bagaimana penyebarannya.
Pedagangan Gujarat bawa ganja ke Nusantara
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara Inang Winarso ganja pertama kali dibawa oleh pedagang dan pelaut Gujarat dari India ke Aceh sekitar abad ke-14.
Menurut Inang, ganja digunakan oleh orang Gujarat sebagai alat transaksi perdagangan.
"Ganja ditukar dengan cengkeh, kopi, lada, vanili, dan jenis rempah-rempah lainnya," kata Inang.
Suku Gujarat juga diperkirakan membawa ganja ke wilayah Nusantara bagian timur, seperti Maluku yang saat itu menjadi pusat rempah-rempah dunia.
Sumber gambar,BBC Indonesia
Selain itu, menurut Inang, terdapat juga relief gambar daun ganja yang ditemukan di Candi Kendalisodo yang berada di Gunung Penanggungan, Mojokerto.
Candi Kendalisodo adalah candi Syiwa bertingkat tiga. Di tingat dua, kata Inang, terdapat pahatan daun ganja yang menurutnya memiliki makna dalam ritual keagamaan Hindu saat itu.
Budaya 'mengganja' di Kitab Tajul Mulukmbar,Lingkar Ganja Nusantara
Selama beratus tahun, ganja dimanfaatkan oleh masyarakat Nusantara untuk kepentingan ritual, pengobatan, bahan makanan dan pertanian.
Masyarakat Aceh, kata Inang, yang paling aktif memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Inang mengatakan kata ganja tertulis dalam bab pengobatan di manuskrip kitab kuno Tajul Muluk di Aceh.
Kitab ini adalah bukti awal yang telah terkonfirmasi tentang jejak ganja dan penggunaannya di Indonesia.
Dilansir dari laman resmi Lingkar Ganja Nusantara, Kitab Tajul Muluk adalah sebuah naskah kuno yang berasal dari Arab, dibawa masuk ke Aceh oleh saudagar dan pedagang dari Persia serta Negeri Rum (Turki) sekitar abad ke-16.
· PNS tanam ganja untuk obat istri, saatnya ganja demi kesehatan?
· Kanada resmi legalkan penggunaan dan penjualan ganja
· Thailand legalkan ganja untuk kesehatan: 'Hadiah Tahun Baru untuk rakyat Thailand'
Naskah asli dari manuskrip kuno tersebut awalnya adalah tulisan tangan dengan menggunakan huruf dan bahasa Arab yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Melayu.
Dalam kitab Tajul Muluk, ganja dijadikan obat untuk penyakit kencing manis atau diabetes.
Akar ganja direbus dan airnya diminum untuk kencing manis.
Ganja juga digunakan oleh masyarakat masyarakat Serambi Mekkah itu untuk bumbu penyedap rasa masakan dan menambah nafsu makan, seperti untuk kuah beulangong, kari kuah bebek, bubur rempah bernama ie bu peudah dan makanan rempah lain.
Kemudian, ganja digunakan sebagai campuran kopi. Bahkan, pohon ganja juga berfungsi sebagai pengusir hama tanaman.
"Untuk pertanian, ganja ditanam di pinggir area persawahan, sehingga hama serangga tidak akan makan padi karena aroma dari daun bunga dan biji itu sudah menyengat buat hewan," kata Inang.
Ganja sudah menjadi bagian budaya masyarakat Aceh selama ratusan tahun.
Jejak ganja di Maluku: Ritual dan pengobatan
Bukan hanya di Aceh, jejak ganja juga tercatat di Maluku, khususnya Ambon.
Ahli botani Jerman-Belanda, G. E. Rumphius pada tahun 1741 menulis buku berjudul Herbarium Amboinense. Dalam buku itu, ganja digunakan oleh masyarakat Maluku untuk kepentingan ritual dan pengobatan.
"Ganja dihisap untuk menimbulkan trans saat bermeditasi dan melakukan ritual," kata Inang.
· Resepkan kue ganja untuk bocah empat tahun, izin praktik dokter dicabut
· Ketika Swiss mencoba membudidayakan ganja untuk penggunaan obat
· Larangan ganja untuk pengobatan, 'ganjil dan kejam'
Dalam tulisan berjudul "Ganja di Indonesia: Pola konsumsi, produksi dan kebijakan" karya Dania Putri dan Tom Blickman, orang Maluku saat itu menggunakan akar ganja untuk mengobati gonore atau kencing nanah.
Kemudian, daun ganja dicampur pala dan diseduh berfungsi sebagai teh untuk gangguan asma, nyeri dada pleuritik dan sekresi empedu.
"Kegunaan lain, teh ganja yang diolah dengan daun ganja kering, secara rekreasional dikonsumsi untuk meningkatkan rasa kesejahteraan," kata Dania saat dihubungi BBC News Indonesia.
Iklan ganja di era penjajahan Belandambar,Dania Putri
Dania yang melakukan riset ganja dari arsip-arsip Belanda mengatakan, pada akhir abad ke-19, iklan ganja muncul dalam beberapa koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda.
"Iklan itu mempromosikan rokok ganja sebagai obat untuk asma, batuk dan penyakit tenggorokan, kesulitan bernafas dan sulit tidur," kata Dania.
Namun di penghujung penjajahannya, kata Dania, pemerintah Belanda memutuskan untuk membatasi akses ganja di Hindia Belanda melalui penerapan Verdoovende Middelen Ordonnantie (Dekrit Narkotika) tahun 1927.
"Ini adalah akibat dari masuknya ganja dalam Konvensi Opium Internasional tahun 1925, sehingga membuat ganja harus tunduk pada sebuah sistem otorisasi ekspor dan sertifikasi impor," katanya.
Korban politik rasial dan ekonomi
Masyarakat Nusantara menganggap ganja sebagai rempah-rempah, yang derajatnya sama dengan lada, vanili, pala, kunyit dan lainnya.
Menurut Inang, tidak ada aturan terhadap ganja sampai awal abad ke-20 di Indonesia dan dunia, hingga ganja dijadikan alat politik rasial dan kepentingan ekonomi di Amerika Serikat.
Akibatnya, kata Inang, kegunaan dan manfaat ganja yang bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun hancur.
Ganja, ujarnya, dipandang sebagai barang haram yang tidak bermanfaat.
Politik rasial, kata Inang, berawal ketika migrasi besar orang Meksiko ke Amerika Serikat bagian selatan yang bekerja di perkebunan milik tuan tanah.
"Mereka rajin dan giat bekerja karena tiap sore menyeduh daun ganja. Akibatnya, banyak orang Amerika asli yang dipecat karena pemalas," kata Inang.
· Pengacara ditembak mati di siang bolong, Belanda 'menuju' negara narkoba?
· Sidang 'ganja untuk obat': suami pasien yang meninggal jadi terdakwa
· Kekurangan ganja, negara bagian di AS siap terapkan ‘kondisi darurat’
Orang asli Amerika itu, kata Inang, pun cemburu sehingga menciptakan kampanye hitam ke pemerintah pusat.
Isinya bahwa orang Meksiko tiap sore mabuk-mabukan meminum ganja, membuat keonaran, lalu memperkosa perempuan Amerika, ujar Inang.
"Tokoh terkenal kampanye rasial dan anti ganja adalah Harry J. Anslinger pada tahun 1930-an. Kampanye hitam itu tidak berdasarkan riset sama sekali," katanya
Di saat bersamaan, ganja adalah bahan baku serat pakaian di dunia, sementara di Amerika sedang berkembang serat sintesis plastik.
Para pengusaha serat sintesis pun, kata Inang, menggosok para politisi Amerika untuk melarang tanaman ganja, yang berimplikasi pada pelarangan penggunaan serat ganja.
"Dua kepentingan sekaligus. Pertama yaitu kepentingan politik untuk menyingkirkan para imigran Meksiko supaya tidak dipekerjakan lagi. Kedua, kepentingan ekonomi untuk mempopulerkan serat plastik, " kata Inang.
Pelarangan ganja berkembang menjadi isu internasional hingga akhirnya pada tahun 1961 keluar Konvensi Tunggal tentang Narkotika yang memasukan ganja sebagai narkotika, setara dengan opium (papaver), dan kokain (koka).
Akhir 'kejayaan' ganja di Indonesia
Indonesia meratifikasi konvensi tersebut 15 tahun kemudian saat era Presiden Soeharto melalui UU Narkotika nomor 8 tahun 1976.
"Akibatnya, seluruh budaya, spiritual dan sejarah kita tentang ganja tiba-tiba dilarang, tanpa ada riset ilmiah, hanya mengikuti konferensi internasional yang diwarnai kepentingan politik rasial dan ekonomi," katanya.
Sejak saat itu, pemberitaan di media massa tentang ganja berubah drastis, dari yang mengambarkan manfaat pengobatan ganja menjadi penangkapan pengguna dan pengedar ganja di Indonesia.
Ganja, kata Inang, kini dipandang menjadi barang haram yang harus dijauhi karena tidak ada manfaatnya dan membunuh generasi muda Indonesia.
"Polisi secara represif mengejar, menangkap dan memenjarakan orang yang membawa ganja. Terjadi pembumihangusan tanaman ganja," kata Inang.
Negara yang dulu melarang, sekarang melegalkan
Dokter pengobatan integratif dan fungsional Widya Murni mengatakan terdapat 33 negara yang telah melegalkan ganja untuk kepentingan medis.
Bahkan, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, ganja digunakan untuk kepentingan medis dan rekreasi.
Padahal, seperti penjelasan Inang, Amerika adalah negara yang gencar dan aktif melarang penggunaan ganja.
Beberapa negara yang melegalkan ganja untuk keperluan medis di antaranya Kanada, Australia, Finlandia, Jerman, Belanda, Korea Selatan, Inggris, India, dan Malaysia sedang dalam proses untuk itu.
Menurut Widya, dalam acara Kompas TV, ganja dibagi dalam dua golongan, yaitu hemp (cannabis sativa) dan mariyuana (cannabis indica).
"Hemp mengandung kurang dari 0,3 THC (yang menyebabkan fly-mabuk). Sementara, fly itu ada mariyuana. Kalau kita menyamaratakan semua ganja, bukannya kita sudah mengdekriminalisasikan ganja," kata anggota Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Umum Indonesia itu.
Lanjutnya, Hemp bisa digunakan untuk ganja medis karena bersifat non-psikoaktif dan memiliki banyak manfaat seperti penenang alami, anti kejang, menumbukan tulang, obat migran, anti hipertensi, anti diabetes, lupus, anti kanker dan anti nyeri.
Sementara mariyuana, walaupun memiliki sifat psikoaktif tinggi, bisa digunakan untuk medis dan rekreasi, kata Widya.
Manfaat mariyuana adalah untuk anti mual, meningkatkan nafsu makan, manfaat untuk insomnia, anti kanker, anti nyeri, anti asma, dan obat gangguan saluran cerna.
BNN: ganja merusak otak
Kepala BNN Heru Winarko menegaskan dari sekitar 3,6 juta pengguna narkoba, 63% merupakan pecandu ganja. "Zat yang dikandung dalam ganja bisa mengurangi oksigen di otak sehingga bisa membuat orang menjadi bodoh," kata Heru dalam keterangan pers dilansir dari situs BNN.
Artinya, kata Heru, ganja tidak bisa digunakan, dibudidayakan, ataupun dimanfaatkan untuk pengobatan.
Senada dengan itu, Kepala Pusat Laboratorium Narkotika BNN Mufti Djusnir mengatakan bahwa ganja sama sekali tidak dapat digunakan, dibudidayakan, ataupun dimanfaatkan untuk pengobatan, pemanfaatannya hanya untuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Para peneliti sebelumnya telah melihat dampak buruk tersebut. Otak itu kaya dengan oksigen, jika oksigen terkena ganja, maka oksigen terikat oleh THC maka bisa menyebabkan pengapuran di sel otak sehingga sel itu akan mati. Berapa sel yang mati tidak akan sehat kembali, hanya sisanya yang bisa mengikat oksigen," imbuh Mufti Djusnir.
Sepanjang tahun 2019, menurut data BNN, aparat penegak hukum menangkap 42.649 pelaku kejahatan narkotika. Aparat juga menyita 112,2 ton ganja, sabu seberat 5,01 ton, ekstasi sebanyak 1,3 juta butir, dan PCC sebanyak 1,65 juta butir dari 33 ribu kasus narkotika yang diungkap.
Sementara untuk tahun 2018, aparat menangkap 53.251 orang dari 40.553 kasus narkoba. Barang bukti yang disita yaitu 41,3 ton ganja, 8,2 ton sabu, dan 1,55 juta butir ekstasi. BNN juga mengungkap 47 hektar lahan ganja di Indonesia.
Hukuman ganja di Indonesia seumur hidup dan denda Rp8 miliar
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengkategorikan ganja sebagai narkotika golongan I.
Hukumannya, jika seseorang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan ganja kurang dari satu kilogram mendapat ancaman hukuman penjara empat hingga 12 tahun dan denda Rp800 juta hingga Rp8 miliar.
Jika beratnya lebih dari satu kilogram atau lebih dari lima batang pohon, maka hukumannya lebih berat, yaitu pidana penjara seumur hidup atau paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun ditambah denda hingga Rp8 miliar.
Dania Putri mengungkapkan, hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang meninggal karena ganja, ditambah puluhan negara telah melegalkan ganja untuk kepentingan medis.
Menurutnya, sudah saatnya Indonesia membuka diri dan mulai melakukan penelitian terhadap manfaat ganja bagi kepentingan medis.