Indonesia Darurat Bullying, Butuh Solusi yang Tuntas
Berdasarkan hasil Asesmen
Nasional pada 2022, Kemendikbudristek menyatakan bahwa terdapat 36,31 persen
atau satu dari tiga peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami
bullying atau perundungan.
Bagaikan fenomena gunung es,
beberapa bulan terakhir banyak kasus perundungan di kalangan siswas SMP, SMA,
bahkan anak-anak SD. Sebagai upaya menekan kasus perundungan, Pusat Penguatan
Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek bekerjasama dengan UNICEF Indonesia
melakukan bimbingan teknik (bimtek) Roots pada 10.708 satuan pendidikan,
melatih 20.101 fasilitator guru, dan membentuk 51.370 siswa agen
perubahan.
Program ini berjalan sejak 2021
dan telah mendorong 34,14 persen satuan pendidikan di Indonesia membentuk tim
pencegahan kekerasan. Targetnya, di tahun 2023, bimtek Roots akan dilaksanakan
secara luring dan daring pada 2.750 satuan pendidikan jenjang SMP, SMA, dan
SMK, serta melakukan refreshment pada 180 orang fasilitator nasional.
Namun, apakah solusi ini dapat
menyelesaikan masifnya kasus bullying? Karena kini, tindak perundungan bukan
lagi sekadar lontaran verbal maupun perundungan fisik yang ringan, melainkan
sudah mencapai tingkat sadistis (tindak kejahatan/kriminal) yang tidak jarang
bisa menghilangkan nyawa korban.
Berdasarkan fakta yang ada,
menegaskan bahwa solusi dari pemerintah tidak bisa menyelesaikan kasus
bullying. Di samping karena implementasi program yang masih lemah, solusi yang
ada pun tidak sampai menyentuh akar persoalan. Sebab, tindakan setiap
pelaku dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Seperti berkaitan dengan adanya
geng sekolah, pengaruh negatif media, hingg kesalahan pola pengasuhan di dalam
keluarga. Berdasarkan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang Perundungan Jika
perbuatan tersebut dilakukan di muka umum, maka ancaman pidana penjara menjadi
paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah
Dari kasus perundungan yang
kompleks, dapat diketahui bahwa tidak bisa persoalan ini hanya diselesaikan
dengan pelopor anti bullying. Dibutuhkan adanya peran dari semua pihak dan
solusi yang komprehensif agar generasi bangsa dapat terhindar dari kasus
perundungan, baik sebagai pelaku, maupun menjadi korban.
Akar permasalahan dari kasus
perundungan ini berasal dari pemikiran serba bebas atau liberal. Saat seseorang
tidak lagi menjadikan hukum Islam sebagai standar hidup, ia akan berbuat sesuka
hati tanpa memedulikan benar dan salah. Mereka juga tidak dapat mengendalikan
gharizah baqa karena lebih mengedepankan emosi. Sehingga, output pemikirannya
justru berupa tindakan perundungan sampai mendapat kepuasan.
Islam memandang, semua terjadi
akibat dari penerapan sekuler-kapitalis pada sistem pendidikan yang tidak
mengajarkan anak didik dengan akidah Islam. Jadi, cara yang tepat dalam
mengatasi maraknya kasus bullying adalah dengan mengganti sistem
sekuler-kapitalis menjadi sistem Islam.
Dalam Islam, orang tua
bertanggung-jawab dalam pola pengasuhan anak yang benar menurut syariat Islan.
Selain itu, masyarakat juga senantiasa menjadi pengontrol generasi bangsa
dengan ber-amar maruf nahi munkar.
Dikarenakan solusi dari kasus
bullying berkaitan dengan sistem, jelas bahwa negara punya peran penting dalam
menjaga keamanan rakyatnya. Sistem pendidikan dalam Islam akan menjadikan
hukum syara' sebagai landasan untuk membuat aturan. Dari sistem inilah, akan
lahir kurikulum yang membentuk pola pikir dan pola sikap Islami pada anak.
Negara akan menanamkan akidah
Islam pada kurikulum pendidikan, sehingga anak didik paham tentang benar dan
salah dalam berpikir dan berperilaku. Islam juga mengajarkan kalau ingin
memenuhi gharizah baqa haruslah dengan cara yang benar, bukan berdasarkan hawa
nafsu.