
MENGENAL HARTA BERSAMA DALAM ISLAM
MENGENAL HARTA BERSAMA DALAM ISLAM
Terkait harta bersama dalam Islam, perlu diketahui bahwa dalam fikih Islam klasik tidak dikenal harta bersama, bahkan jika terjadi perceraian, maka harus dilihat siapa pemilik hartanya.
Lebih lanjut, hal ini berbeda dengan fikih yang berlaku di Indonesia, yang dikenal dengan hukum Islam hasil ijtihad bangsa Indonesia, yaitu UU Perkawinan dan perubahannya serta KHI. Dalam dua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ini dikenal adanya harta bersama.
Ketentuan harta bersama dalam UU Perkawinan diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut, diterangkan bahwa harta dalam perkawinan (rumah tangga) dibedakan menjadi:
1. Harta yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi “harta bersama”; dan
2. Harta bawaan masing-masing suami istri, baik harta tersebut diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, contohnya, hadiah atau warisan. Harta pribadi sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Kemudian, harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam atau KHI diatur dalam Pasal 85 s.d. Pasal 97 KHI, yang menerangkan bahwa harta perkawinan dapat dibagi atas:
1. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan;
2. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan;
3. Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri;
4. Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;
5. Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.
Pengakuan Harta Bersama di Indonesia
Mengapa dua sumber hukum Islam yang berlaku di Indonesia (fikih Islam Indonesia) mengakui ada harta bersama dalam Islam? Sebab perkawinan itu dianggap sebagai bentuk syirkah, yaitu bersatu, berserikat untuk membentuk rumah tangga.
Dalam kata lain adalah percampuran atau berserikatnya dua orang (calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan dalam akad nikah untuk mengikatkan diri membentuk rumah tangga).
Dalam pendapat T. M. Hasbi Ash Shiddiqie dalam Pedoman Rumah Tangga (hal. 9), dengan perkawinan, menjadikan sang istri syirkatur rojuli filhayati (kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup), maka antara suami istri dapat terjadi syarikah abadan (perkongsian tidak terbatas).
Itulah sebabnya di Pengadilan Agama ketika ada orang Islam bercerai dan mempersoalkan harta yang diperoleh selama perkawinan, maka akan dipertimbangkan harta dalam perkawinan sebagaimana ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan dan Pasal 85 s.d. Pasal 97 KHI. Maka, menurut fikih Islam Indonesia, perkawinan menimbulkan adanya harta bersama dalam perkawinan.
Benadetha Aurelia Oktavira