Polisi Tembak Mati DPO, Apakah Melanggar HAM?

POLISI TEMBAK MATI DPO, APAKAH MELANGGAR HAM?

Oleh: Wilson Pompana

 

Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai DPO. Daftar Pencarian Orang (“DPO”) merujuk pada daftar orang-orang yang dicari atau menjadi target pihak aparat kepolisian, secara umum merujuk pada orang hilang dan pelaku kriminal.

Secara yuridis, DPO disebutkan di dalam Pasal 17 ayat (6) Perkapolri 6/2019 yang berbunyi:

Tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan guna penyidikan perkara dan tidak jelas keberadaannya, dicatat di dalam Daftar Pencarian Orang dan dibuatkan surat pencarian orang.

Adapun yang dimaksud dengan tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa DPO yang dimaksud dalam pertanyan Anda adalah seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang telah dipanggil untuk pemeriksaan penyidikan perkara dan tidak jelas keberadaannya.

 

Asas Praduga Tak Bersalah

Perlu diketahui bahwa terhadap DPO, dalam hal ini adalah DPO curanmor, adalah berstatus tersangka yang terhadapnya harus diberlakukan asas praduga tak bersalah.

Hal ini diatur di dalam Pasal 18 ayat (1) UU HAM yang berbunyi:

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, DPO tersebut berhak untuk dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Prosedur Penggunaan Senjata Api oleh Aparat Kepolisian

Kami asumsikan bahwa tindakan aparat kepolisian menembak mati DPO dengan senjata api dilakukan ketika mencegah larinya DPO karena membahayakan orang lain.

Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Penggunaan senjata api dilakukan ketika tersangka melakukan tindakan agresif yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah, kematian, atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat, atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum.

Selain itu, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

Selain itu, setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 48 Perkapolri 8/2009, salah satunya adalah dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya.

Lebih lanjut, penggunaan senjata api dilakukan berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perkapolri 1/2009 dilakukan ketika:

a.     tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;

b.     anggota Polri tidak memiliki alternatif yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;

c.      anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Sebelum dilakukan penembakan ke arah pelaku kejahatan atau tersangka, anggota Polri dapat melakukan tembakan peringatan.

Setelah melakukan penindakan dengan senjata api, petugas wajib:

a.     mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api;

b.     memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak;

c.      memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api; dan

d.     membuat laporan terperinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.

Selanjutnya dalam Pasal 49 ayat (2) Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa jika terdapat pihak yang merasa keberatan atau dirugikan akibat penggunaan senjata api oleh petugas, maka:

a.     petugas wajib membuat penjelasan secara rinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat dari tindakan yang telah dilakukan;

b.     pejabat yang berwenang wajib memberikan penjelasan kepada pihak yang dirugikan; dan

c.      tindakan untuk melakukan penyidikan harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian terhadap tersangka atau DPO hendaknya tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dilakukan sebagai upaya terakhir dan dilakukan ketika tersangka membahayakan nyawa atau keselamatan orang lain.

Untuk mengetahui apakah terjadi penyalahgunaan senjata api atau kesalahan prosedur ketika aparat kepolisian melakukan penembakan kepada DPO sebagaimana yang dimaksud, harus dilakukan pemeriksaan atau pendalaman, salah satu caranya adalah dengan meminta penjelasan kepada kepolisian atau pejabat yang berwenang.

 

Apakah Menembak DPO Hingga Meninggal adalah Pelanggaran HAM?

Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 1 angka 6 UU HAM pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU HAM, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Anggota Polri dalam menerapkan tugas pelayanan dan perlindungan terhadap warga masyarakat wajib memperhatikan asas legalitas, asas nesesitas, dan asas proporsionalitas dan harus dipertanggungjawabkan.

1.     Asas legalitas adalah tindakan petugas/anggota Polri sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku.

2.     Asas nesesitas adalah tindakan petugas/anggota Polri didasari oleh suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan penegakan hukum, yang mengharuskan anggota Polri untuk melakukan suatu tindakan yang membatasi kebebasan seseorang ketika menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan.

3.     Asas proporsionalitas merupakan tindakan petugas/anggota Polri yang seimbang antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam penegakan hukum.

Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menentukan  tindakan penembakan DPO yang tidak melakukan perlawanan hingga meninggal oleh aparat kepolisian melanggar HAM atau tidak, terlebih dahulu tindakan tersebut harus diuji apakah telah sesuai dengan prosedur penggunaan senjata api, prinsip perlindungan HAM, asas proporsionalitas, asas nesesitas, dan asas legalitas sebagaimana disebutkan di atas.

Pihak yang keberatan atau merasa dirugikan atas penembakan tersebut dapat menyampaikan keberatannya kepada pejabat yang berwenang untuk itu, agar ditindaklanjuti dan ditentukan apakah penembakan tersebut sesuai dengan prinsip perlindungan HAM atau tidak.

Apabila didapati atau terbukti tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip perlindungan HAM, maka anggota Polri yang bersangkutan dapat dikenai sanksi berupa penegakan disiplin, penegakan etika, dan/atau proses peradilan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Meta Data

Tipe Dokumen : Artikel Hukum
Judul : Polisi Tembak Mati DPO, Apakah Melanggar HAM?
Tempat Terbit : Sukoharjo
Tahun : 2024
Bahasa : Indonesia
Sumber : -
Lokasi : JDIH Kabupaten Sukoharjo
TEU Orang/Badan : -
Subjek : -
File Dokumen : -

Berita Terbaru